Senin, 05 Maret 2012


RSBI ‘Rintisan Sekolah Berkasta Indonesia’
Oleh : Prasasti Perangin-angin (Mahasiswa STT Cipanas).

Akhir-akhir ini, perbincangan tentang Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) semakin memanas. Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan, terus berjuang untuk mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menggugurkan pasal tentang RSBI pada UU Sikdiknas. Koalisi Anti Komersialisasi Pendidikan menilai, kebijakkan pemerintah mengadakan rintisan sekolah bertaraf internasional telah berkembang kepada mengeksklusifkan pendidikan. Pendidikan bermutu hanya milik kaum borjuis – kaya dan pintar – yang berdasarkan jumlah kuantitatif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kaum jelata. Hal ini dinilai melanggar hak setiap anak – khususnya mayoritas jelata – untuk mendapatkan pendidikan yang sama, layak dan berkualitas. Sehingga pengujian materi harus diperjuangkan untuk mengembalikan hak anak – baik kaya, miskin, pintar, kurang pintar, bahkan bodoh – untuk memperoleh pendidikan bermutu tanpa sekat, tanpa kasta.
Selain melanggar hak setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang sama, Andi Muttaqien Tim Advokasi Anti Komersialisasi Pendidikan, menyatakan: ‘dukungan dan pengistimewaan RSBI menunjukkan pemerintah ingin lepas tanggung jawab menyediakan pendidikan bermutu. Pendidikan Bermutu bagi semua anak bangsa justru diserahkan kepada pasar yang hanya dapat dinikmati segelintir orang. (Kompas, 17/02/12)”
RSBI ini jelas-jelas mengkhianati semangat pendidikan. Pendidikan seperti ini tidak keberpihakan kepada rakyat miskin dan diskriminatif. Aliansi Orangtua Murid Peduli Pendidikan Indonesia (APPI), yang juga sedang mengajukan uji materi ke MK, menilai RSBI menimbulkan diskriminasi di dalam masyarakat. Akhirnya siswa yang miskin, tidak mampu, sepertinya hendak dikatakan akan terus bersekolah di gedung yang hampir-hampir roboh itu. Yang miskin biarlah tetap bersekolah di sekolah yang gurunya hanya satu untuk semua kelas itu. Yang miskin biarlah tetap terbelakang, dan akhirnya orang miskin dilarang menjadi terdidik dan mendapat pendidikan bermutu. Meskipun ada kuota siswa miskin, tetap saja sekolah kesulitan memenuhi minimal 20 persen. Jumono, Sekjen APPI menilai kuota 20 persen itu hanyalah perbaikkan citra.
Selain itu, RSBI juga merugikan masyarakat. Milang Tauhida (44), salah satu orangtua siswa, mengatakan sekolah yang menjadi RSBI justru merugikan masyarakat. Sekolah itu hanya untuk orang pintar dan kaya karena lebih mahal (Kompas, 17/02/12). Ada kecemburuan sosial. Perlakuan pendidikan kepada anak jadi berbeda-beda. Padahal di dalam prinsip mendidik, pembedaan itu memberikan dampak yang negatif kepada anak didik. Anak yang miskin akan merasa lebih minder, tidak percaya diri, dan merasa lebih rendah (inferior). Sedangkan anak yang kaya akan cenderung lebih sombang, merendahkan yang lain, dan merasa (superior).
Kalau sudah dibedakan begitu, maka dengan sendirinya kita akan kembali kepada zaman dimana setiap orang memiliki kelas atau kasta. Padahal UUD 1945 menyatakan, negara bertanggungjawab untuk menyelengarakan pendidikan yang sama kepada semua orang tanpa membedakannya. Negara akan melanggar konstitusi dan landasan negara ini ada, jika pendidikan yang diselenggarakan diskriminatif. Apapun latarbelakang kehidupan sosial seseorang, kepintarannya, sukunya, status ekonomi orangtuanya, semuanya haruslah dididik oleh negara untuk menjadi cerdas, berbudipekerti, berkarakter, mandiri, dan siap mengisi pembangunan bangsa. Apalagi, kalau orang kaya dan pintar, toh mereka bisa bersekolah di sekolah swasta yang mahal bahkan bersekolah diluar negeri. Kenapa pemerintah tidak lebih banyak mengurusi pendidikan di desa-desa dan di daerah terpencil? Atau pemetaan guru yang hanya menumpuk di kota? Tapi itulah ironinya, pendidik diurusi oleh orang yang tidak mengerti pendidikan dan menjadikan pendidikan semacam proyek semata.
Mendukung Uji Materi
Sehingga, apa yang sedang diperjuangkan oleh Tim Advokasi Anti Komersialisasi Pendidikan dan APPI patut kita dukung bersama. Dukungan bisa kita lakukan dengan membentuk tim yang serupa di tingkat daerah. Agar setiap daerah bisa memberikan realita dampak dan sesat pikir dari program RSBI ini. Sebagai orang tua siswa yang tergabung di dalam kelompok-kelompok kemasyarakatan dan keagamaan patut memberikan pendapat. Pendapat dapat kita bangun dengan berdiskusi, seminar dan mengkaji bersama tentang lemahnya model RSBI. Karena dampak dari sistem pendidikan yang demikian secara langsung maupun tidak langsung sebenarnya terjadi di tengah masyarakat.
Selain dukungan di dalam bentuk kelompok atau koalisi, kita juga bisa mendukung dengan terus menyuarakan dengan membangun opini di media massa. Apa yang saya tulis ini adalah bagian dari itu. Saya bertujuan agar tulisan ini memberikan pencerahan kepada pembaca bahwa pendidikan di negara ini sedang berada pada status ‘salah urus’. Opini seperti ini juga bisa disuarakan oleh guru-guru yang bersentuhan langsung dengan pendidikan. Kelompok-kelompok guru sangat kita harapakan, mampu melihat permasalahan apa yang timbul dari pendidikan yang berkasta ini. Begitu juga mahasiswa yang diharapkan dapat kritis melihat RSBI ini adalah bagian dari liberalisasi pendidikan yang harus kita tolak!
Saya yakni setiap dukungan yang kita berikan dapat berkontribusi untuk perjuangan kita mengembalikan pendidikan kepada jalur yang benar. Negara harus terus kita tuntut untuk memberikan pendidikan yang berpihak kepada semua golongan, komersialisasi pendidikan harus kita tolak karena negara bertanggung jawab menyelengarakan pendidikan bermutu, berkualitas, dan mencerdaskan tanpa harus membebani yang mayoritas miskin ini dengan biaya yang mahal dan tidak ada kasta di republik ini. Karena pendidikan mahal itu sama halnya penswastaan negeri. Akhirnya, RSBI adalah ‘rintisan sekolah berkasta Indonesia’. Tolak RSBI! (Penulis Mahasiswa STT Cipanas, Aktif di Perkamen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar