Kamis, 04 November 2010

INDONESIA DI TENGAH BENCANA

Pdt. Prof. Dr. Sularso Sopater

Indonesia, yang di waktu sejahtera disebut sebagai “zamrud khatulistiwa”, bulan-bulan ini dilanda oleh berbagai bencana alam. Banjir bandang melanda Wasior, Papua Barat. Akhir Oktober 2010, gempa besar (7,2 Skala Richter) yang menimbulkan tsunami, menimpa Kabupaten Mentawai. Hempasan tsunami menyapu bersih beberapa desa di pulau Pagai Selatan. Disusul meletusnya Gunung Merapi di perbatasan Jawa Tengah/D.I Yogyakarta, yang menyemburkan awan panas dan memakan korban banyak penduduk yang belum sempat mengungsi. Kesemua bencana ini menyebabkan ratusan orang meninggal, ratusan orang mengalami luka-luka berat dan ringan dan puluhan ribu pengungsi yang mengalami serba kemalangan lahir dan batin. Rumah dan seisinya habis punah dalam sekejap, anggota-anggota keluarga yang dikasihi meninggal tiba-tiba dengan cara mengenaskan, sebagian lain mengalami luka berat dan menjadi cacat, persediaan pangan dan tabungan lenyap tiba-tiba hingga harus menderita lapar dalam pengungsian. Para mahasiswa STT Cipanas asal Mentawai dan Papua, gundah gulana memikirkan akibat-akibat bencana di daerah asalnya masing-masing.


Sivitas Akademika STT Cipanas, seperti dalam peristiwa gempa Cianjur/ Jabar sebelumnya berlatih untuk menjadi peka terhadap penderitaan sesamanya. Percakapan-percakapan pribadi dan dalam kelompok kecil, berisi perbincangan mengenai bencana-bencana itu dengan segala akibatnya. Kelompok-kelompok doa dan ibadah-ibadah di Chapel menaikkan doa-doa syafaat bagi para korban bencana. Kolekte dalam “ibadah raya”, selama 6 minggu berturut-turut ditujukan untuk membantu menolong para korban bencana di Wasior, Mentawai dan sekitar Gunung Merapi.


Doa-doa syafaat yang dinaikkan berisi permohonan agar Tuhan Bapa Pengasih melimpahkan belas kasihan dan rahmat kepada puluhan ribu pengungsi, agar Tuhan memberkati usaha-usaha pertolongan oleh pemerintah dan masyarakat, dan agar Tuhan memberi perlindungan kepada rakyat Indonesia secara keseluruhan melalui pengendalian kekuatan-kekuatan semesta alam yang mengancam keselamatan manusia. Di samping itu memohonkan ampun mengenai dosa-dosa yang dilakukan sebagai bangsa, yang mungkin menjadi penyebab langsung dari salah satu bencana yakni banjir bandang.


Keprihatinan terhadap bencana-bencana yang dialami masyarakat Indonesia, merupakan kelanjutan dari tradisi sederhana dalam pengembagan kepekaan sosial di lingkungan Sivitas Akademika STT Cipanas. Latihan untuk mengembangkan kepekaan sosial ini sejak lama telah dilakukan melalui beberapa pelayanan sosial dalam bentuk Bakti Sosial bidang kesehatan kepada masyarakat desa Gadog setiap tahun dan Aksi Donor Darah bersama PMI cabang Cianjur secara periodik.


Semoga latihan kepekaan ini makin berhasil dan Tuhan mengabulkan doa-doa syafaat yang dinaikkan.



sumber gambar: kompas edisi Kamis, 4 November 2010

Rabu, 28 Juli 2010

SISI LAIN MUKJIZAT

oleh: Edi P. Labang
(Mahasiswa semester akhir STT Cipanas)


Mukjizat merupakan topik yang cukup paradoksal; jarang dialami, banyak dinantikan. Di kalangan Kristen, mukjizat bukan semakin ditolak namun semakin digandrungi. Meskipun demikian, di ekstrem yang lain perkembangan ilmu pengetahuan juga mendorong sekelompok orang lainnya (Kristen maupun non Kristen) untuk menolak semua hal yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.

Mukjizat seringkali dipikirkan sebagai peristiwa yang terjadi berlawanan dengan hukum alam sehingga tidak dapat diterangkan oleh akal budi dan ilmu. Peristiwa-peristiwa seperti: Laut yang tiba-tiba surut mengering, matahari yang diam tak bergeser, air yang berubah menjadi anggur, roti yang sedikit, cukup untuk memberi makan ribuan orang, orang sakit sembuh dan orang mati hidup lagi, dianggap menyalahi hukum alam yang berlaku.

Menurut pandangan beberapa teolog, salah seorang naturalis yang amat berpengaruh dalam penolakannya terhadap mukjizat adalah David Hume (1711 –1776), seorang filsuf dan sejarawan yang juga memainkan peranan kunci dalam sejarah filsafat Barat dan Pencerahan di Skotlandia. Argumentasi penolakan Hume terhadap mujizat dapat dirangkumkan sebagai berikut: Hukum alam secara definisi adalah deskripsi dari peristiwa yang terjadi secara teratur; Mujizat secara definisi adalah peristiwa yang jarang terjadi; Bukti untuk hal yang teratur selalu lebih besar daripada yang jarang; Orang yang bijaksana selalu mendasarkan kepercayaannya pada bukti yang lebih besar; Oleh karena itu, orang yang bijaksana seharusnya tidak pernah percaya mujizat. Ringkasnya, kesaksian tentang mukjizat harus ditolak oleh orang terdidik dan berakal sehat. Menurut Martin Harun, kalau diamati dengan baik, argumen sang empiris Hume ini lebih manyangkut ketidakmungkinan untuk mengetahui mukjizat daripada ketidakmungkinan terjadinya mukjizat.

Namun di sisi lain, menurut pandangan beberapa teolog yang bebeda, kitab suci tidak tahu apa-apa mengenai alam, apalagi hukum alam. Hukum alam adalah konsep ilmiah modern. Martin Harun misalnya yang mengutip pandangan John P. Meier, (A Marginal Jew), mengatakan bahwa ide yang muncul tentang mukjizat bertentangan dengan hukum-hukum alam kurang berguna untuk memahami kisah-kisah mukjizat dalam Alkitab, sebab menurutnya, gagasan alam – apalagi alam yang berjalan menurut hukum-hukum imanen – sama sekali absen dalam Alkitab Ibrani. Kata “alam” (Phusis) baru mulai muncul dalam kitab-kitab Deuterokanonika atau Apokrifa dalam Perjanjian Baru, dan di situ pun tetap dimengerti dalam terang Perjanjian Lama, yakni sebagai dunia ciptaan yang teratur oleh firman dan hikmat Allah, dan bukan oleh hukum-hukum yang tidak dapat dilanggar. Lagi pula, dewasa ini, banyak ahli ilmu pengetahuan yang dahulunya anti dengan mukjizat, kini mengatakan bahwa yang dipercaya sebagai mukjizat tidak dapat dikesampingkan secara a priori. Bagi mereka, ada jauh lebih banyak hal dari dunia kita yang penuh rahasia ini daripada yang kita tangkap. Martin Harun memberikan contoh, misalnya dari biro medis di Lourdes atau dari International Medical Committee di Paris, tentang kasus-kasus penyakit fisik serius yang secara mendadak disembuhkan tanpa dapat dijelaskan secara medis. Laporan-laporan ilmiah itu tidak akan menyimpulkan bahwa terjadi mukjizat, tetapi diserahkan kepada umat beriman atau instansi keagamaan untuk menarik kesimpulannya.
Mukjizat juga sering terlihat dari berbagai asumsi teologis yang mengatakan bahwa dunia ini penuh dengan mujizat bagi orang-orang yang mempunyai mata untuk melihat. Dengan perkataan lain, semua tindakan-tindakan Allah tertentu yang membuat kita heran, terkejut, kagum dan terpesona adalah mujizat. Dalam hal ini, mukjizat (miracle) sama dengan pemeliharaan Allah (providence). Misalnya, bangun pagi, mendapat nilai A waktu ujian, mendapat pekerjaan, selamat dari kecelakaan maut, sembuh dari sakit dll, adalah mujizat. Namun demikian ada asumsi lain yang mengatakan bahwa campur tangan Tuhan dalam pemeliharaan umat-Nya di setiap peristiwa kehidupan bukanlah mukjizat (miracle) melainkan pemeliharaan Allah (providence) yang meliputi kemurahan hati Tuhan (mercy). Orang-orang Kristen yang tidak membedakan antara mercy dengan miracle menjadikan kata mujizat menjadi sia-sia karena sering dipakai dalam konteks yang salah dan terlalu luas. Kebenarannya adalah mukjizat bukanlah peristiwa-peristiwa biasa.

Dewasa ini, berkembang pula asumsi teologis yang mengatakan bahwa, kisah-sisah mukjizat yang ada di dalam Alkitab dimengerti sebagai cerita-cerita yang sepenuhnya disusun oleh jemaat perdana berdasarkan cerita-cerita serupa yang beredar tentang pembuat mukjizat di dunia Yahudi dan Yunani-Romawi pada abad-abad itu. Dengan perkataan lain, mukjizat yang diceritakan di dalam Alkitab tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta sejarah. Alasannya adalah, mukjizat muncul dalam kisah Yesus yang tercatat, pertama kali pada dasawarsa kedelapan dalam Injil Markus dan kemudian pada dasawarsa kesembilan dan kesepuluh dalam Injil-injil lain. Dengan demikian, mukjizat-mukjizat tampak sebagai sebuah sumbangan dari kurun waktu itu, antara tahun 70 sampai 100 M ketika Injil-injil ditulis. Kisah- kisah ini justru adalah usaha para murid Yesus untuk mengatakan bahwa Allah yang sama yang telah menciptakan dunia ini, yang mengendalikan unsur-unsur air dan angin, yang memberi makan nenek moyang mereka di padang belantara dengan makanan dari langit dan meluputkan mereka dari kematian di Laut Merah, telah dijumpai dengan suatu cara yang sepenuhnya baru dalam kehidupan insani Yesus dari Nazaret.

Lepas dari berbagai asumsi teologis di atas, perlu disadari bahwa di dalam Alkitab, cerita-cerita mukjizat itu sering terjadi di sekitar peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh tertentu saja. Umpamanya dalam kaitan dengan keluaran dari Mesir, kehidupan Elia dan Elisa, pelayanan Yesus, dan pekerjaan para rasul dalam kitab Kisah Para Rasul. Sebaliknya dalam kitab para nabi, kitab kebijaksanaan dan surat-surat Paulus hampir tidak kita jumpai adanya mujizat. Kita juga melihat bahwa di dalam Alkitab, mujizat itu bisa dibuat oleh orang yang baik dan yang jahat, misalnya dalam cerita keluaran dari Mesir cukup banyak mujizat yang dilakukan oleh para ahli sihir Mesir melawan mujizat yang dibuat oleh Musa.

Perlu juga diingat bahwa para penulis Alkitab mengunakan peristiwa mujizat, karena pada waktu itu, kisah-kisah mukjizat jauh lebih manarik daripada khotbah, kata-kata bijak, atau gagasan-gagasan keagamaan yang baru atau asli. Kisah-kisah itu dapat terus-menerus diceritakan di sekitar api ungun pada waktu malam hari, dan dengan beberapa tambahan kisah-kisah ini akan selalu menarik dan membuat pendengar kagum. Di samping itu, kisah-kisah mukjizat adalah sarana yang mudah dan baik untuk meyakinkan para pembacanya. Hal ini dikarenakan bahasa mujizat dapat dimengerti dan ditangkap oleh semua orang pada waktu itu.
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah, para penulis Alkitab mengunakan cerita mujizat itu dalam kaitannya dengan pemberitaan yang mereka lakukan. Dan dalam pemberitaan itu mereka lebih menonjolkan makna mujizat. Dengan perkataan lain, hal ini dibuat sebagai kisah teologis yang tujuannya menyampaikan kebenaran-kebenaran lain yang berada dalam tatanan nilai-nilai. Misalnya untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral tentang hal yang baik dan hal yang jahat, hal yang benar dan hal yang salah, dan seterusnya, atau untuk menimbulkan efek dan respons pada emosi dan perilaku manusia terhadap sesuatu atau terhadap suatu figur insani tertentu yang menjadi objek-objek devosional/penyembahan keagamaan.

Pada masa kini, bahasa adikodrati abad pertama tidak saja membutakan mata kita terhadap makna Yesus, tetapi sebenarnya juga membuat gambar Yesus bagi kita tersimpang. Hal yang bukan prinsip menjadi prinsip. Yang dicari adalah Yesus yang berjalan di atas air, Yesus yang menyembuhkan orang sakit, Yesus yang memberi makan lima ribu orang, Yesus yang membangkitkan orang mati dan sebagainya. Padahal, yang menjadi pesan penulis Alkitab bukanlah pada mukjizat, tetapi kisah teologis mukjizat itu sendiri. Kisah teologis tersebut, digunakan oleh para penulis Alkitab untuk menjawab pergumulan umat dalam koteksnya masing-masing saat itu. Maka dalam konteks kita saat ini, sangat naif bila kita memaksakan apa yang bukan menjadi permasalahan atau pun pergumulan konteks kita. Pemaksaan-pemaksaan seperti inilah yang pada akhirnya menimbulkan berbagai kontroversi tentang mukjizat.

Sisi lain dari mukjizat, di mana kalau pada waktu dulu para penulis Alkitab mengunakan cerita-cerita mukjizat untuk menyampaikan kabar baik kepada setiap umat dalam konteksnya, itu mungkin karena cerita-cerita mukjizat tersebut sangat relevan dan efektif. Dalam konteks kita dewasa ini, mungkin mukjizat tidak relevan lagi untuk menjawab setiap persoalan dan pergumulan kita, tetapi Allah berbicara kepada kita dengan cara yang baru. Ia berbicara kepada kita dalam peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi zaman ini. Yesus dapat membantu kita mengerti suara ‘kebenaran’. Akan tetapi akhirnya kitalah yang harus memutuskan dan bertindak.

Kepustakaan

Harun, Martin., “Mukjizat:Keajaiban atau Tanda Simbolis”, Diskursus vol. 9, No. 1, April 2010.

Nolan, Albert., Yesus Sebelum Agama Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Spong, John Shelby., Yesus bagi Orang Non Religius, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.

Selasa, 20 April 2010

MISSION FOR ALL NATIONS


Oleh:
Nam See King
(Anggota OMF International, dosen Misiologi dan Interkultural Studi di STT Cipanas, menyelesaikan studi doktoral bidang pelayanan di CTS Colorado, Amerika)

Misi bagi bangsa-bangsa itu monster!! Misi for all nations itu monster bagi non-Kristen dan Kristen. Suatu hari saya diundang ceramah tentang misi di sebuah Seminari Injili. Saat ceramah saya memberikan kebebasan pada Mahasiswa untuk bertanya bila memang ada yang perlu bertanya disaat ceramah berlangsung. Seorang mahasiswi tingkat akhir dari seminari itu berdiri dan dengan lantang berkata kepada saya bahwa sebaiknya saya STOP melakukan pekerjaan misi. Alasannya adalah di mana komunitas Kristen masih banyak yang perlu dilayani, misi menciptakan perpecahan dalam masyarakat, dan misi membuat tidak aman dalam suatu komunitas karena mengkristenkan orang, katanya dengan semangat. Reasonable!! Masuk akal!!

Seorang pendeta yang saya kenal dari suatu gereja yang mulai cukup berkembang karena kerinduannya membawa gerejanya bermisi, menceritakan secara panjang lebar bahwa keluarganya telah terusir dari gerejanya karena beberapa majelis yang tidak setuju melakukan misi, bekerja sama dengan hamba Tuhan junior di gerejanya mempropokasi jemaat agar dia tidak melayani lagi di gereja itu. Maka keluarlah hamba Tuhan itu dengan keluarganya dari gereja yang telah mereka rintis dari awal. Lalu pendeta itu digantikan oleh juniornya.
Mengapa misi for all nations itu seperti monster yang menakutkan? Masihkah kita percaya pada Alkitab kita adalah Firman Allah? Saya akan menekankan pembicaraan kita pada mengapa kita perlu bermisi bagi bangsa-bangsa?

Misi Gereja Tuhan adalah misi orang-orang beriman
Saya harus akui bahwa misi seringkali diartikan sebagai the expansion of Christianity among non-Christians, that is, among people not baptized with Christian baptism (Justice Anderson, 1998:2). Dalam konteks ini, kita selalu mengacu kepada Amanat Agung sebagai alasan utama mengapa kita melakukan misi (Matius 28:18-20; KPR. 1:8). Memang World Evangelization is the imperative of the NT. “The Gospel must first be proclaimed among all nations” (Mark 13:10). Menyadari perintah Alkitab ini maka orang-orang percaya yang dianggap tidak punya otoritas dalam suatu gereja, akhirnya mendirikan sending agencies seperti Dr.Hudson Taylor, dsb. “You don’t need a great faith, but faith in a great God” kata Hudson ketika berbicara tentang misi (Roger Steer, 1995:51).

Orang Beriman Bermisi karena God’s Covenant
Kalau kita mempelajari Alkitab secara komprehensif maka kita akan melihat bahwa misi yang dilakukan oleh orang percaya itu bukan semata-mata didasari oleh perintah Amanat Agung melainkan lebih dalam dari itu, yakni Covenant, perjanjian orang beriman dengan Allah-nya. The word “Covenant” itu artinya “come together”. Siapa yang “come together” dalam hal ini?
Alkitab berkata bahwa God and believers who come together (Kis. 3:25 refer to Genesis 22:18; 26:24). Oleh karena Perjanjian itu maka dikatakan “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Ibrani 8:10). Kata ‘Covenant’ pertama kali muncul dalam Alkitab karena inisiatif Allah terhadap Nuh dalam rencana pemusnahan umat manusia (Kejadian 6:18). God said, “I will establish my covenant with you” (Genesis 6:18). Apa makna kata “Perjanjian” di sini menurut kita?
Untuk menikmati berkat Perjanjian itu maka Nuh harus percaya dan taat. Azas manfaat dari suatu perjanjian dinikmati kalau keduanya mentaati perjanjian itu. Lalu Tuhan menegaskan lagi pada Nuh bahwa perjanjian itu dibuat antara Allah dan Nuh dengan keturunan Nuh (Kejadian 9:9).

Kemudian Allah membuat perjanjian lagi dengan Abraham secara khusus. Ini dilakukan setelah keturunan Nuh mulai kabur dalam melaksanakan perjanjian itu. Abrahamic Covenant mulai dari Kejadian 12:1-7. Allah berkata bahwa, “all peoples on earth will be blessed through you” (Genesis 12:3c). Maka Abraham jadi amat kaya supaya bisa jadi berkat (Kejadian 13:2). Karena keragu-raguan Abraham terhadap janji berkat Allah maka Allah membuat penegasan perjanjian-Nya dengan Abraham (Kejadian 15:1-6; 7-8 dan 18). Perjanjian itu diperluas hingga ke keturunan Abraham (Kejadian 17:7). Perjanjian itu An Everlasting Covenant. Sementara itu dipihak Allah, Dia menuntut ‘materai darah’ sebagai ikatan perjanjian itu (Kejadian 17:9-11).
Dalam konteks Israel pada masa perbudakan di Mesir, Allah memperhatikan mereka karena perjanjian “An Everlasting Covenant” (Keluaran 2:23-25). Selama 430 tahun orang Israel dalam perbudakan (Keluaran 12:40), mereka tidak membuat korban bakaran (Keluaran 3:18). Dengan kata lain, mereka mengingkari perjanjian maka Tuhan tidak bicara pada mereka. Tapi Tuhan ingat pada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub maka Tuhan menolong mereka. Maka Allah memanggil Musa sebagai ‘misionaris’ Allah yang pertama untuk membawa umat kembali beribadah kepada Tuhan Yahweh yang benar (Keluaran 3:2-10). Tujuan panggilan Abraham adalah supaya nama Tuhan Yahweh dinyatakan kembali di antara orang Israel secara khusus dan bangsa-bangsa lain secara umum (Keluaran 6:1-7). Maka Allah mulai berbicara kepada Musa dan memberikan Ten Commandements (Keluaran 20:1-17).
Jadi 10 perintah Allah itu adalah untuk menuntun umat-Nya supaya mereka dapat meneruskan perjanjian ilahi itu. Covenant adalah alasan adanya 10 perintah Allah supaya Allah dapat terus memberkati umat-Nya. Ingatlah konteks Keluaran 24:1-7 ketika Musa turun dari gunung Sinai dan mulai berbicara pada umat Israel. Keluaran 24:3, “Lalu datanglah Musa dan memberitahukan kepada bangsa itu segala Firman Tuhan dan segala peraturan itu”. Firman Tuhan dan segala peraturan itu merujuk pada Covenant with God. Kemudian Keluaran 24:12 Tuhan memanggil Musa untuk menghadap guna penulisan Hukum-hukum itu.
Untuk menjaga keabsahan Covenant itu, darah selalu menjadi materainya (Keluaran 24:8). Dalam hal ini penyunatan menjadi simbol darah yang sangat penting. Maka dalam Perjanjian Baru, darah Kristus menjadi materai Perjanjian Baru (Matius 26:28; 1 Korintus 11:25; cf. Yeremia 31:31-34). Dengan beriman kepada Kristus yang melalui darah-Nya memeteraikan Perjanjian Baru kita dengan Allah maka kita disebut umat Perjanjian Allah (1 Petrus 2:9-10).
Berhubung kita adalah umat Perjanjian Allah maka Kristus memberikan perintah Amanat Agung agar kita mau menjadi saksi-Nya hingga ke ujung bumi ciptaan-Nya (Matius 28:18-20; KPR.1:8). Apa yang perlu kita saksikan? Jawabnya adalah berkat dan rahmat dari God’s Covenant!! Inilah tujuan dari Misi Ilahi itu. Dan, berkat dan rahmat Allah yang terbesar adalah salvation! Apa artinya manusia memiliki semua harta kekayaan di dunia ini kalau jiwanya binasa? (Matius 16:26; Markus 8:36; Lukas 9:25). Oleh karena itu Yesus Kristus mengatakan bahwa carilah Kerajaan Allah terlebih dahulu maka yang lain akan ditambahkan-Nya (Matius 6:33).
Maka membangun Kerajaan Allah adalah tujuan dari misi. Kerajaan Allah dinyatakan melalui Gereja maka Gereja harus menjadi agen untuk membawa suasana Kerajaan Allah itu kepada bangsa-bangsa sebagaimana pernah diamanatkan kepada Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, dan bangsa Israel untuk bangsa-bangsa (Yesaya 49:6b-7).

Refleksi
Umat Tuhan adalah umat Perjanjian Allah. Maka umat Tuhan harus ikut terlibat dan bertanggungjawab dalam menyaksikan Allah itu bagi bangsa-bangsa. Itulah sebabnya misi bukanlah suatu fungsi baru atau tugas baru bagi murid-murid Yesus Kristus yang mula-mula (Lukas 24:36-48; Galatia 3:8).




Minggu, 11 April 2010

PATRIAKHAL: Mendiskriminasikan Perempuan?


Sebuah tinjauan dari Perjanjian Lama

oleh: Devi Siskawati
(Mahasiswa semester VIII STT Cipanas, sedang mendalami konsep 'anak manusia' dalam kitab Daniel)

Banyak pandangan atau pendapat yang mengatakan bahwa dalam Perjanjian Lama kedudukan seorang perempuan tidak dianggap penting. Perempuan selalu tidak diperhitungkan keberadaannya. Kedudukan lelaki adalah superior sedangkan perempuan adalah inferior. Hal ini karena pengaruh budaya patriakhal yang dianut oleh bangsa Israel. Budaya patriakhal ini dianut dari bangsa-bangsa di sekitar Israel. Tetapi, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: apakah benar budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama dan masyarakat Yahudi mendiskriminasi kaum perempuan? Apakah Perjanjian Lama mengabaikan perempuan? Dalam tulisan ini, penulis hendak mengajak pembaca untuk memberi pemahaman yang baru dan tidak berpandangan naïf terhadap kedudukan perempuan dalam Perjanjian Lama, khususnya menyangkut budaya patriakhal yang menurut pandangan banyak orang mendiskriminasi kaum perempuan. Dalam tulisan ini, penulis juga akan meneliti kebudayaan patriakhal dari bangsa-bangsa di sekitar Israel dan bangsa Israel. Maksud penulis meneliti kebudayaan di luar Israel, karena kebudayaan patriakhal yang ada di Israel merupakan hasil adopsi dari bangsa-bangsa di sekitar Israel.

Budaya Patriakhal dalam Kebudayaan Bangsa-bangsa di Luar Israel.[1]

Mesir
Kata bapa digunakan secara figuratif untuk menggambarkan hal-hal seperti ‘I was father to the child’ dan dia adalah ‘a father to orphans, a husband to widows’. Seorang pejabat harus menjadi “bapa yang baik bagi masyarakat yang dipimpinnya”. Dengan kata lain, makna bapa dalam kebudayaan Mesir adalah sebagai pemelihara atau penjaga anak-anaknya.

Mesopotamia
Sistem kekeluargaan Mesopotamia bersifat patriakhal. Bahasa Akkad menggunakan kata abu (m) untuk kata bapa. Merupakan sebuah tanggung jawab ayah untuk menjadi penopang dan pelindung bagi keluarganya. Kita dapat melihat berbagai gambaran mengenai ayah yang baik di dalam pandangan orang-orang Mesopotamia. Sebagai contoh: “seorang raja sebagai pemimpin bangsa harus memperlakukan hambanya sama seperti seorang ayah memperlakukan anaknya”. Ini memberi gambaran kepada kita bahwa seorang ayah pasti melindungi anaknya.

Agama Semit Barat
Makna bapa adalah sebagai pelindung yang melindungi keluarganya.

Budaya Patriakhal dalam Kebudayaan Israel
Bentuk kemasyarakatan yang digambarkan oleh Alkitab tentang sistem politik Israel adalah sebuah sistem kekeluargaan.[2] Sistem kekeluargaan ini dipelihara dalam bentuk silsilah. Silsilah ini tidak hanya menggambarkan hubungan darah, tetapi juga hubungan ekonomi, status sosial, dan kekuasaan yang mana dapat terlihat di dalam komunitas. Seorang ayah berfungsi untuk melindungi negerinya dan keluarganya. Seorang ayah dalam kebudayaan Israel memiliki kekuasaan untuk: mengadopsi putera atau puteri (seorang anak diakui sebagai anggota suatu kelompok/klan apabila ketika dia lahir, pemimpin klan itu menerimanya, apabila tidak, maka bidan yang membantu proses persalinan mengambilnya dan meletakkannya di tempat terbuka dan mengumumkan bahwa anak ini dapat diadopsi oleh kelompok/klan yang lain), menerima pekerja-pekerja, bernegosiasi mengenai pernikahan dan menentukan ahli waris.[3] Selain itu, seorang ayah juga bertanggung jawab untuk mengatur anak-anaknya dan mengajarkannya tentang kasih Allah (Ul.6:7). Dalam kebudayaann Israel, ayah memiliki peranan yang sangat penting. Ayah adalah kepala rumah tangga, anak-anaknya hormat terhadap dia (Mal.1:6). Dia mengontrol anggota keluarganya yang lain seperti pengrajin mengontrol tanah liatnya (Yes.64:7). Ketika seseorang dipanggil dengan sebutan ayah, sebenarnya hendak menunjukkan otoritasnya. Misalnya saja: Naaman dipanggil dengan sebutan bapa/ayah oleh para hambanya (2 Raj.5:13), Elia dipanggil bapa oleh murid-muridnya (2 Raj 2:12). Para imam dipanggil sebagai bapa oleh komunitas kultus (Hak.18:9).[4]


Dari tulisan ini saya mau mengajak kita untuk melihat sisi positif dari budaya patriakhal itu sendiri. Budaya patriakhal merupakan sarana kasih Allah kepada umat Israel. Kita melihat dari segi tanggung jawab para lelaki yang terdapat dalam Alkitab. Seorang lelaki atau seorang bapa memiliki tanggung jawab yang besar untuk kaum atau klannya. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa dalam kebudayaan Israel maupun kebudayaan di luar Israel tidak ada maksud untuk mendiskriminasi perempuan. Misalnya saja dalam kebudayaan Mesopotamia: seorang ayah haruslah dapat menjadi penopang dan pelindung bagi keluarganya. Jadi, di mana letak kesalahannya? Yang salah adalah kita yang memiliki pemikiran naïf terhadap budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama. Sekali lagi saya hendak menegaskan bahwa budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama tidak mendiskriminasi keberanaan kaum perempuan. Saya tidak menentang kaum feminis, tetapi janganlah kita mendramatisir apa yang dirasakan oleh kkaum perempuan pada waktu itu. Kita dapat melihat dalam Perjanjian Lama, tidak ada perempuan yang komplain akan keberadaannya sebagai perempuan. Hal ini karena kaum lelaki memang melindungi kaum perempuan. Perempuan sangat diperhatikan dalam Perjanjian Lama. Kita dapat melihat bahwa seorang janda pun diperhatikan oleh masyarakat. Buktinya, dapat kita lihat dalam tahunYobel. Selain itu kita juga dapat melihat dalam perkawinan ipar (go’el). Seorang wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya akan dikawinkan dengan iparnya. Kita dapat melihat dalam kasus Rut dan Boas. Perempuan yang telah ditinggal mati oleh suaminya dapat menikah lagi dengan saudara laki-laki dari suaminya. Hal ini bertujuan untuk melindungi perempuan tersebut. Kaum lelaki dan perempuan adalah sama, sama-sama penting dan sama-sama saling membutuhkan. Marilah kita sama-sama saling mengisi dan jangan kita menganggap lebih superior dari yang lainnya.

[1] G. Johannes Botterweck, Helmer Ringgren, Theological Dictionary of The Old Testamen, (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1999), hal 3-5.
[2] Victor.H.Matthews and Don.C Benjamin, Social World of Anceint Israel 1250-587 BCE, (Massachusetts:Hendrickson Publisher), 1993, hal 7-8.
[3] Ibid…hal 8.
[4] G. Johannes Botterweck, Helmer Ringgren, Theological Dictionary of The Old Testamen, (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1999), hal 8-9.

Jumat, 26 Maret 2010

MATA GANTI MATA; GIGI GANTI GIGI; NYAWA GANTI NYAWA

Oleh:
Barnabas Ludji
(Pengajar bidang studi Perjanjian Lama, menyelesaikan studi doktoral di STT Jakarta)

Kata-kata di atas diambil dari potongan ayat yang terdapat dalam Kitab Keluaran (21:23-24; Im 24:19-20; Ul 19:21). Sebagian kata-kata di atas digunakan juga oleh Yesus dalam pemberitaan-Nya (Mat. 5:38). Kelihatannya Yesus tidak lagi berpegang pada hukum-hukum seperti itu. Malahan sebaliknya, Yesus menjungkirbalikkan hukum-hukum tersebut (Mat 5:39). Akan tetapi, Yesus sendiri sebelumnya mengatakan, bahwa Ia sama sekali tidak datang untuk meniadakan, mengurangi atau pun mengubah hukum Taurat dan Kitab Para nabi. Yesus datang untuk menggenapi atau memenuhi tuntutan hukum Taurat (baca Mat 5:17-19). Lebih tegas lagi Yesus mengatakan, bahwa mereka yang meniadakan hukum Taurat sekecil apapun dan mengajarkan hal demikian kepada orang lain, maka ia akan memperoleh kedudukan yang paling rendah dalam Kerajaan Sorga. Sebaliknya, mereka yang mengajarkan Taurat dan melakukannya akan memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga (Mat 5:19).

Berdasarkan ucapan Yesus dalam ayat 17-19, 38-39, maka jelas bahwa Ia tidak bermaksud meniadakan hukum-hukum yang terdapat dalam Kel. 21:23-24 dan lain-lainnya. Lalu apa sebenaran yang Yesus maksudkan dengan ucapan-Nya dalam Mat 5:38 dan 39? Kedua ayat itu secara hurufiah memperlihatkan dua hal yang bertolak belakang. Di pihak lain, perbuatan yang mengakibatkan seseorang kehilangan salah satu anggota tubuhnya harus dibalas dengan hal yang sama juga (gigi ganti gigi, mata ganti mata, tangan ganti tangan dst). Di lain pihak, sepertinya Yesus, menentang hukum di atas, yaitu jika salah satu bagian tubuh disakiti, bukan saja tidak dibalas dengan menyakiti si pelaku, melainkan memberi bagian tubuh lain untuk disakiti lagi.

Apakah Yesus memiliki sifat yang mendua terhadap Taurat? Apakah ucapan Yesus itu cukup dipahami seperti itu? Untuk memahami secara substansial makna hukum-hukum seperti yang dikatakan tema di atas, perlu ada usaha yang lebih serius. Mungkin dengan usaha serius, kita bisa memperoleh penjelasan tentang pertanyaan, apakah hukum-hukum seperti itu masih relevan bagi orang percaya sekarang? Apakah ucapan Yesus di atas bermaksud meniadakan hukum taurat? Dan sebagainya.

Ayat-ayat PL yang sejajar di atas tentu saja berasal dari masa yang berbeda-beda, tetapi ketiganya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan itu bisa menunjukkan bahwa ketiganya bersumber pada suatu hukum yang lebih tua dari mereka, misalnya dari hukum Hamurabi dan memiliki latar belakang nomade (A.D.H. Mayes, The New Century Bible Commentary, Deuteronomy, hlm. 290-291). Kemungkinan teks tertua dari ketiga teks di atas adalah teks Kitab Keluaran (band. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 1, hlm.84). Dengan demikian, penulis Kitab Imamat dan Ulangan kemungkinan mengambilnya dari Teks Keluaran. Perbedaan di antara ketiganya menunjukkan pada pengembangan oleh masing-masing penulis sesuai kebutuhan masyarakat pendengarnya.

Dari penjelasan di atas, kita melihat bahwa bentuk praktis dari hukum-hukum Tuhan itu berkembang dan bertambah sesuai kebutuhan. Artinya hukum yang lama bisa berubah-berubah bentuk praktisnya dan tidak kaku. Respon hukum Tuhan terhadap situasi yang dihadapi bisa berbeda-beda, namun prinsip dasar yang mau dipertahankan adalah keadilan yang benar-benar adil.
Pertanyaannya ialah, jika benar hukum-hukum dalam teks-teks di atas bersumber pada hukum-hukum Hamurabi atau kebudayaan Asyur (lihat Mayes, hlm. 291), apakah hukum-hukum tadi sama saja dengan hukum-hukum yang dikenal di antara bangsa-bangsa Timur Tengah lainnya?

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Leon Epzstein dalam bukunya yang berjudul, The Social Justice in The Ancient Near East and The People of The Bible, menjelaskan bahwa keadilan yang dimaksudkan oleh bangsa-bangsa Timur Tengah adalah ketidakadilan, karena adanya sistem kasta dalam masyarakat di sana. Sementara raja dan pembantu-pembantunya berada di atas hukum. Hal ini berhubungan dengan adanya anggapan bahwa raja adalah pemberi hukum dan anak illah secara biologis. Sementara hukum-hukum dalam Alkitab diterima sebagai yang berasal dari Allah. Karena itu, tidak ada seorang pun termasuk raja sekalipun yang berada di atas hukum. Inilah salah satu alasan bahwa keadilan menurut hukum Alkitab adalah keadilan yang sesungguhnya. Alasan lainnya ialah bahwa prinsip dasar keadilan hukum Alkitab adalah keadilan Allah yang berakar pada kebenaran Allah yang bersumber pada anugerah-Nya. Keadilan dan kebenaran memiliki kaitan yang erat dengan anugerah Allah. Itulah sebabnya hukum mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa, kaki ganti kaki dan lain-lainnya dilakukan melalui proses dan keputusan hukum yang adil dan benar. Hukum diputuskan tidak berdasarkan kebencian atau pun diskriminasi, karena kedudukan dalam masyarakat. Hukum diputuskan berdasarkan anugerah dan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai anugerah Allah itulah yang memungkinkan keadilan dapat diputuskan seadil-adilnya. Hukuman yang diterima si pelaku kejahatan haruslah benar-benar seimbang dengan apa yang ia lakukan terhadap orang lain.

Dalam Kitab Ulangan hukum-hukum seperti itu berkaitan dengan anugerah Allah yang dibahasakan sebagai kasih Allah. Atas dasar pemahaman yang demikian, maka proses peradilan dan keputusan hukumnya pun berdasarkan kasih Allah. Kasih Allah memandang semua manusia sama di mata hukum; proses dan keputusan hukumnya seadil-adilnya; menghakimi jauh dari rasa benci; jauh dari perasaan belas dendam; jauh dari perlakuan yang diskriminatif; jauh dari keputusan yang memandang bulu dan ketidakadilan.

Hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Imamat juga merupakan bagian dari hukum-hukum yang disebut Hukum Kekudusan. Maknanya sama saja dengan apa yang dikatakan di atas. Kekudusan Allah menjadi dasar. Ketidakadilan dipandang sebagai yang bertentangan dengan kekudusan Allah. Umat yang hidup dalam kekudusan Allah tidak dibenarkan melakukan ketidakadilan. Hukum harus mencerminkan kekudusan Allah.

Haruslah dikatakan bahwa bentuk praktis dari keadilan dalam Alkitab sesuai dengan budaya yang berlaku di sana. Jika prinsip keadilan itu diterapkan di wilayah bukan Timur Tengah Kuno, misalnya di negeri kita, maka hukum-hukum di atas bisa diberlakukan di Indonesia kalau itu sudah menjadi budaya di Indonesia. Tetapi kalau hal itu bukan budaya di Indonesia, maka bentuk proses dan bentuk keadilan yang seadil-adilnya haruslah tetap menjadi prinsip dasar dalam memutuskan sebuah perkara. Tetapi bentuk praktisnya hukuman yang akan dijatuhkan kepada seseorang yang bersalah haruslah setimpal dengan perbuatannya, walaupun bentuk penghukumannya bukan lagi mata ganti mata atau gigi ganti gigi dan lainnya. Misalnya, hukuman penjara sekian tahun dan sebagainya.

Sebanarnya dalam hukum-hukum di Indonesia, masih ada hukum yang mengisyarat kan human - nyawa ganti nyawa. Misalnya, kasus pembunuhan yang direncanakan secara matang dan dilaksanakan sangat keji. Kasus seperti ini bisa dijatuhi hukuman mati berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Sementara mayoritas negari sedunia, sudah menolak hukuman mati. Tetapi masih ada hukum yang dianggap masyarakat yang belum mencerminkan keadilan yang seadil-adilnya. Misalnya undang-undang yang mengatur hukuman bagi seorang pemerkosa.

Masalah lain yang masih melilit negeri ini adalah penegakkan hukum yang pilih tembang atau diskriminatif. Orang yang dekat dengan penguasa yang bermasalah terkesan mendapat perlindungan dan tidak disidik. Supermasi hukum di negeri ini pun dipertanyakan banyak orang. Selama ada sikap diskriminatif dalam usaha penegakkan keadilan, maka yang terjadi adalah ketidakadilan. Hukuman mati yang dilakukan pihak penegak hukum tanpa proses peradilan yang benar, termasuk kategori tindakan yang tidak adil. Penembakan mati terhadap seorang buronan tanpa proses peradilan yang benar pun termasuk pada tindakan ketidakadilan.

Dengan demikian jelas bagi kita bahwa hukum-hukum di atas masih sangat relevan untuk dikaji secara serius dalam rangka bermasyarakat dan bernegara, bahkan dalam bergereja. Keadilan Allah merupakan bagian dari anugerah Allah bagi mereka yang mencari keadilan yang sejati.

Prinsip keadilan yang terkandung dalam hukum-hukum mata ganti mata, gigi ganti gigi, kaki ganti kaki, tangan ganti tangan atau pun nyawa ganti nyawa tidak memberi peluang sedikitpun kepada tindakan atau perbuatan main hakim sendiri. Main hakim sendiri jelas dibakar oleh kemarahan dan kembencian yang membara. Kebencian pastilah tidak berasal dari anugerah Allah. Tetapi keadilan yang sejati pasti asalnya dari anugerah Allah. Dalam tindakan main hakim sendiri tidaklah mungkin kita menemukan keadilan yang sejati. Hukum-hukum Allah dalam Alkitab memang kelihatan idealis, tetapi itulah pengharapan manusia pada umumnya, kecuali mereka yang memelihara niat jahat selama hidupnya.

Barangkali ucapan Yesus dalam Matius 5 ayat 38-39, jelas tidak bermaksud meniadakan hukum-hukum di atas dan lain-lainnya, mengingat perkataan Yesus dalam ayat 17-19. Kemungkinan pada masa itu Yesus berhadapan dengan orang-orang yang memberlakukan hukum-hukum di atas secara hurufiah dan didorong oleh kebencian tanpa proses peradilan yang benar. Ketika Yesus mengucapkan kata-kata yang kontradiksi dengan hukum-hukum di atas, kemungkinan Yesus mau mengembalikan prinsip yang esensial dari hukum-hukum itu, yaitu anugerah Allah. Mungkin hal ini boleh dikaitkan dengan firman Tuhan yang mengatakan kejahatan janganlah dibalas dengan kejahatan. Kata-kata seperti itu tidak bermaksud meniadakan proses peradilan dan penegakan hukum. Masalahnya ialah, kalau kejahatan dibalas dengan kejahatan, maka pembalas kejahatan sama jahatnya dengan pelaku kejahatan itu. Silahkan mengomentari dan memberi masukan agar semakin tajam dan luas.

Salam citijam...

Kamis, 25 Februari 2010

KONSEP PERCERAIAN DALAM PL


Oleh: Sugiman

(mahasiswa sem. VIII STTC)


Dalam teks-teks Perjanjian Lama masalah perceraian hampir tidak ditemukan atau disinggung. Seakan-akan hal itu diabaikan dalam Perjanjian Lama atau teks-teks Perjanjian Lama seolah-olah sengaja menghindari dan tidak ingin membahasnya karena didukung beberapa tradisi dan budaya Timur Tengah Kuno saat itu. Jika demikian apakah Perjanjian Lama setuju (memperbolehkan) perceraian? Karena saat ini perceraian adalah masalah yang serius. Oleh sebab itu dalam paper ini akan membahas dan menyoroti dari sudut etika Perjanjian Lama tentang “perceraian”, khususnya dalam kitab Ulangan 24:1-4; Ezra 9-10; Yesaya 50:1; Yeremia 3:8 dan Maleaki 2:10-16 yang membahas mengenai perceraian.

Terminologi
Dalam bahasa Ibrani kata yang diterjemahkan dengan “perceraian” adalah dari kata “keritut
[1]”.: “perceraian”. Dalam bahasa Akkad berasal dari kata kerja “karatu” artinya “to cut off” dan bentuk kata kerja sifatnya: “kartu” artinya “cut up”, yang berpadanan dengan kata “to bring to an end”. Arti lain adalah “to cut down” (1 Raj. 5:20). Kata-kata itu tidak hanya berhenti disitu, tetapi lebih dalam lagi yaitu berkaitan dengan “perjanjian” dan inilah yang lebih penting.[2] Kata keritut hanya muncul empat kali dalam Perjanjian Lama, yaitu Ulangan 24:1, 3; Yesaya 50:1 dan Yer. 3:8.

Dalam LXX diterjemahkan: “apostasio”[3]; KJV: divorcement; RSV: divorce. Penggunaan kata ini menunjuk pada sebuah ikatan resmi (sah) yang kemudian diakhiri aau diputuskan dengan berbagai alasan kongkrit maupun absrak kerena sudah bosan aau idak suka lagi. Kata di atas juga diterjemahkan dengan “perceraian” yang sah karena diserati adanya surat cerai sebagai persyaratan resmi[4] dan surat cerai adalah sebagai bukti bahwa ia boleh menikah (kawin) lagi dengan wanita lain. Selain dengan surat cerai sebagai bukti, juga ada dengan cara yang diumumkan di depan umum khususnya bagi laki-laki yang melakukan pernikahan kontrak di suatu daerah, negara aau bangsa lain[5]. Inilah yang terjadi pada bangsa-bangsa non-Israel, sedangkan di dalam komunitas Israel sendiri seorang suami tidak bisa sembarang atau semaunya menceraikan isterinya dengan tanpa alasan atau bukti-bukti yang mendukung kuat. Namun sediki banyak pengaruh dari bangsa-bangsa sekitar juga masuk. Unuk itu diterapkanlah perceraian yang bersyarat, yaitu harus membuat surat cerai. Tujuannya adalah untuk mengindari tindakan-tindakan yang mempermudah perceraian itu sendiri.

Dengan demikian, setiap laki-laki atau suami diharapkan tidak mengambil tindakan-tindakan yang fleksibel untuk menceraikan isterinya. Di lain sisi perceraian itu diperbolehkan, tapi dengan syarat bahwa suami mendapati isterinya berbuat berzinah dengan laki-laki lain, maka ia harus menceraikannya karena dianggap najis. Tetapi jika perempuan yang mendapati suaminya adalah tidak menjadi masalah, karena kendali dipegang oleh laki-laki. Artinya, dalam PL atau dalam hukum Yahudi seorang perempuan tidak berhak untuk menceraikan suaminya, kecuali sejumlah kasus seperti impotensi atau tidak diasuh oleh suaminya. Namun secara umum hanya suami yang berhak menceraikan isterinya[6]. Mengapa? karena kedudukan perempuan dianggap rendah dari laki-laki. William Barclay, mengatakan, bahwa “Dalam kebudayaan Yahudi wanita tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang”.[7] Rabi Josc ben Johanan mengutip sebuah perkataan bahwa “seorang rabi yang keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya yang perempuan”. Senada dengan itu, Rabi Eliezer mengatakan “Jika seseorang memberikan pengetahuan tentang Hukum kepada puterinya, itu bisa dipandang sebagai mengajarkan hal-hal yang tidak senonoh kepadanya” (Misnah, Sotah 3:4). Selanjutnya menurut Jewish Encyclopedia kedudukan wanita Yahudi tidak banyak berbeda dengan kedudukan wanita di antara bangsa-bangsa kuno lainnya: “Wanita dianggap kurang begitu berharga dibanding pria”[8]. Kedudukan wanita sangat rendah.

Perceraian dalam Budaya Timur Tengah Kuno.
Kita telah melihat, bahwa di satu sisi perceraian itu harus bersyarat, tetapi disisi lain perceraian diperbolehkan. Yang menjadi peranyaan adalah mengapa? untuk itu sangat penting dan perlu diketahui kebudayaan saat itu. Dalam struktur sosial masyarakat kuno di Timur Tengah perlindungan terhadap kaum perempuan adalah sangat kurang atau bisa dikatakan bagaikan sebuah barang, mungkin ini cocok dengan sebuah ungkapan “habis manis sempah dibuang”. Menurut para ahli: “perceraian” bukanlah masalah di Timur Tengah Kuno, karena hal itu adalah normal (sudah lazim di sana). Sehingga tidak menutup kemungkinan juga bahwa hal ini juga terjadi dalam komunitas umat Israel. Jika seorang suami telah bosan atau benci melihat isterinya, maka sang isteri harus siap sedia untuk diceraikan dan kapan saja suaminya mau
[9]. Beberapa ahli mengatakan “If a husband tired of his wife, it was not difficult to have her banished form the home and there was little by way of redress”[10], bnd. dengan The Interpreter’s Bible-Vol. 2 mencatat: “divorce was on easy matter for the husband in the semitic world”[11]. Terutama hal ini banyak terjadi ketika masa peperangan,[12] banyak suami yang menceraikan isterinya kemudian melakukan kawin kontrak dengan perempuan-perempuan tawanan. Tetapi meskipun demikian peraturan yang ada di Israel, Mesopotamia dan Elephantine memiliki kesamaan, yaitu seorang suami harus membuat surat cerai supaya perceraian tersebut benar-benar sah dan adil (bnd. Ian Cairns, 1992 : 210-211).

Ulangan 24:1-4
Hukum-hukum yang ada dalam kitab ini adalah hukum-hukum yang berasal dari sumber D yang tulis kira-kira tahun 622/621 atau pada abad ke 7 sM
[13]. Penulis Deuteronomis berusaha menampilkan bangsa Israel sebagai bangsa yang unik dan berbeda dari bangsa-bangsa sekitarnya. Dengan demikian kita memahami bahwa hukum-hukum ini mencakup seluruh aspek peribadatan umat Israel kepada Yahwe dan untuk mengatur struktur sosial dalam komunitas umat pilihan itu sendiri.[14] Selanjutnya penulis Deuteronomis sangat menekankan perlindungan terhadap perempuan (protecting women) atau “legislation concerning marriage, divorce and remarriage”.G. von Rad menyebutnya dengan istilah “parenesis” (berisi nasihat-nasihat).[15] Namun bagaimana pun juga masalah perceraian tidak dapat disangkal sebagai kebiasaan yang sangat sulit untuk dilepaskan begitu saja. Ayat 1-3 diawali dengan kata “ki”, artinya “jika” atau “apabila”, ini memperlihatkan bahwa penulis D secara hati-hati dalam mengungkapkan kasus “perceraian”. Dan ay.4 menjadi penegasan dari ay.1-3. Dari hukum ini kita dapat menduga bahwa seorang suami sering menceraikan isterinya ketika ia tidak cinta, tidak menyukainya atau sudah bosan melihatnya. Oleh sebab itu kebiasaan seperti ini harus dihentikan untuk melindungi nasip perempuan di dalam komunitas umat Israel. Raymond menyebutkan, paling sedikit ada tiga tujuan penting yang mau di ditekankan oleh penulis Deuteronomis, yaitu: pertama, hukum itu berfungsi untuk mencegah terjadinya perceraian dalam umat Israel. Kedua, untuk melindungi kaum perempuan dan yang ketiga, untuk memelihara pernikahan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa mungkin hukum ini adalah hasil dari penyusunan kembali dari hukum-hukum perkawinan yang sudah ada saat itu.

Dari uraian di atas memperlihatkan bahwa penulis Deuteronomis sangat menolak terjadinya perceraian di kalangan Umat Israel. Paling tidak ada dua alasan mengapa perceraian itu dilarang[16], pertama: adanya tuduhan palsu seseorang kepada isterinya, yaitu mengatakan isterinya sudah melakukan persetubuhan sebelum mereka menikah (Ul. 22:13-19). Yang kedua: seorang laki-laki yang bersetubuh dengan perempuan perawan harus bertanggung jawab dengan perbuatannya (Ul. 22:28-29; Kel. 22:16-17). Sekilas pandang sepertinya Ul. 24:1-4 mengizinkan perceraian, tetapi jika diperhatikan dengan cermat dan teliti, maka ayat ini sebenarnya ingin membantah adanya perceraian terutama di kalangan umat Israel itu sendiri. Penulis Deuteronomis juga ingin memperlihatkan bahwa terjadinya perceraian karena tindakan yang tidak senonoh[17] dan itu tidak memuliakan Dia. Namun tidak berarti hal itu diizinkan. Paul R. House mengatakan: “Jesus comments reflect Moses concern for fidelity and strong marriges as the foundation for a holy community”.[18] Memang dalam keadaan yang ekstrim atau dalam kasus-kasus tertentu perceraian disetujui, misalnya dalam kitab Ezra-Nehemia. Karena saat itu terjadi perkawinan campur yang mengakibatkan kemerosotan iman, moral umat Israel dihadapan Allah. Tetapi tetap saja bahwa hal itu merupakan penyimpangan dari maksud aslinya dan ideal ilahi (tujuan utama Allah) yang memanggil dan memilih Israel sebagai kepunyaan-Nya. Selain itu, perceraian juga adalah pelanggaran terhadap janji Allah atau suatu tindakan penghianatan seperti yang dikatakan dalam Maliaki 2:16 “Dibenci-Nya”. Jika demikian, lalu bagaimana dengan kesaksian penulis Injil Matius dan Lukas yang mencatat bahwa “Musa mengizinkan perceraian karena ketegaran hati bangsa Israel itu sendiri” (Mat. 19:8 dan Mark. 10:5). Maksud dari penulis Injil itu bukan untuk membingungkan, melainkan ingin memberi penjelasan bahwa Musa menerima perceraian sebagai fakta yang tidak terhindarkan dari kehidupan umat Israel. Artinya ada kondisi khusus yang mana perceraian harus terjadi/ tidak dapat dihindari.[19] Oleh sebab itu, Ul. 24:1-4 bisa di pandang sebagai hukum yang mengatur kehidupan nyata supaya Israel hidup sesuai dengan maksud dan tujuan Allah[20]. Artinya perceraian tidak hanya tindakan pengabaian atau tindakan penghianatan terhadap janji-janji Allah, tetapi juga tindakan pencemaran akan kekudusan Allah. Karena perceraian tidak terdaftar dalam rencana Allah.

Kitab Ezra 9-10-Nehemia
Barnabas Ludji mengatakan, bahwa mengenai kepenulisan kitab Ezra-Nehemia sangat sulit ditentukan, karena banyak pendapat yang berbeda-beda di kalangan para ahli (Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama Vol. 1 (Jakarta: Bina Media Informasi, 2009:184-185; bnd. Weiden, 83-85). Namun dilihat dari hubungannya yang kuat antara kitab Ezra-Nehemia dengan kitab Tawarikh, maka kedua kitab itu, yaitu Ezra dan Nehemia ditulis oleh para Muwarikh/ Pentawarikh/ Khronist/ Priest sekitar tahun 400 sM. Karena peristiwa terakhir yang disinggung dalam kita Nehemia adalah perjalanannya ke Yerusalem untuk yang kedua kalinya kira-kira tahun 433 sM, tahun ke-23 pada masa pemerintahan Artaxerxes I yang memerintah pada tahun 465-423 sM (lht. Otto Kaiser, 1973 : 183-184). Menurut 1 Tawarikh 3:19-24 itu sesudah Zerubabel terdapat dalam nama lima generasi.

Pada masa itu kekuasaan Babel tidak sekuat pada masa sebelumnya, sehingga bangsa Israel menaruh harapan kepada Koresy, raja Persia (Yes 45:1). Artinya kerajaan Persia mulai bangkit dan menjadi bangsa yang kuat. Maka Persia bergabung bersama bangsa Madai kemudian menghancurkan bangsa Babel. Ketika raja Koresy berkuasa atas kerajaan Babel, ia juga mengeluarkan dekrit yang berisikan pengizinan orang Israel kembali ke tanah airnya di Yerusalem. Tidak hanya diizinkan pulang, tetapi bersamaan dengan itu Yerusalem yang telah hancur thun 587 sM dan tinggal puing-puingnya juga akan dibangun kembali, terutama Bait Allah yang diyakini sebagai tempat kehadiran Allah (Ezr 6:5). Harta-harta Bait Allah yang diangkut ke Babel oleh raja Babel dibawa kembali ke Yerusalem. Kelompok pertama yang kembali ke Yerusalem adalah kelompok yang dipimpin oleh Zerubabel, yang berasal dari keturunan Daud (1 Tawarikh 17; Ezra 3:2). Meskipun banyak hanbatan dalam proses pembangunan Bait Allah, terutama dari Sanbalat, gubernur Samaria. Selain itu juga ada hambatan dari pihak Tobia, orang Amon. Tujuan dari pembangunan ini adalah supaya mereka beribadah kepada Allah dan meninggalkan berhala-berhala yang menyebabkan mereka mengalami kemerosotan iman, termasuk diantaranya adalah kawin campur. Artinya isteri-isteri yang berasal dari bangsa-bangsa lain harus diceraikan harus diceraikan, supaya tidak terjadi kemerosotan iman lagi (Ezra 9-10), kemudian Perjanjian Sinai diperbaharui.

Ezra 9-10
Kita akan melihat dua ayat yang mewakili pembahasan Ezra 9-10 yang membahas mengenai kawin campur, yaitu orang Israel dengan bangsa-bangsa sekitar atau perempuan-perempuan asing. Ternyata perkawinan campur ini menyebabkan kemerosotan iman umat Israel kepada Allah, maka imam Esra menyuruh menceraikan semua isteri-isteri yang berasal dari negara asing. Maka dalam kitab Ezra perceraian diizinkan, khususnya perempuan-perempuan asing karena menyebabkan kemerosotan iman, akhlak di dalam komunitas umat Allah. Pertama, Ezra 9:14 menyatakan bahwa “Jika kami kembali memutuskan perintah-Mu (berhenti melakukan perintahmu) dan megawini mertua laki-laki bangsa-bangsa yang keji (kotor/ najis) tidakkah Engkau murka terhadap kami?”. Perhatikan kalimat “hanasub lehaper miswoteyka ulehithatten bearnrne haelleh “. LAI menterjemahkan “masakan kami kembali melanggar perintah-Mu dan kawin-mengawin dengan bangsa-bangsa yang keji ini?”. Maka menurut saya LAI kurang tepat. perhatikan kata “hanasub” : ”Jika kami kembali”, artinya umat Israel sudah pernah melakukan perkawinan campur ini terutama ketika pertama memasuki tanah Kanaan. Kemudian “lehaper miswoteyka” terj. harafiahnya adalah : “merusak, memutuskan atau berhenti melakukan perintah-Mu. LAI: “melanggar” kurang kuat dibandingkan dengan terj. “berhenti melakukan atau memutuskan perintah-Mu”. Kalimat “dan mengawini mertua laki-laki bangsa-bangsa yang keji tidakkah Engkau murka terhadap kami?” memperlihatkan, bahwa bagi imam Ezra “menikah dengan bangsa-bangsa asing adalah kekejian bagi Allah dan mendatangkan murka-Nya. Mengapa? karena tindakan tersebut tidak melakukan perintahnya atau berhenti melakukan perintah-Nya. Maka dari itu kitab Ezra mengijinkan perceraian atau disahkan saat itu atau diperbolehkan jika perempuan itu membuat mereka jauh dari Tuhan. Dengan kata lain perceraian dibenarkan pada konteks saat itu. Kedua, dalam Ezra 10:10 memberitahukan bahwa kawin dengan bangsa-bangsa asing itu adalah sama dengan “ketidaksetiaan” dan menambah “kesalahan” kepada perintah Tuhan. Kata yang diterjemahkan dengan “kesalahan” adalah “ashmah”, yang bisa diterjemahkan juga dengan “wrongdoing” dan “guiltiness” yang artinya tindakan yang salah, atau “pelanggaran” dan “kesalahan”. Maka jelaslah, bahwa menurut kitab Ezra perceraian harus dilakukan karena itu adalah tindakan yang melanggar perintah Tuhan, mengapa melanggar? Karena akibat perkawinan dengan perempuan asing umat israel semakin jauh dari Tuhan dan tidak lagi melakukan kehendak-Nya atau perintah-Nya. Artinya, tindakan itu juga adalah penghianatan terhadap Tuhan atau ketidaksetiaan kepada perintah Tuhan. (bnd. Cliens, The New Century Bible Commentary, Ezra, Nehemiah, Esther (Marshall, Morgan & Scott Publ. LTD. London: Wm. B. Eermans, 1992 :118-134)

Kitab Yesaya 50:1
Ayat ini ingin mengatakan bahwa persekutuan Yahwe dengan umat-Nya disamakan dengan persekutuan dalam pernikahan, yaitu umat Israel digambarkan sebagai “isteri” dan Yahwe adalah suaminya. Artinya ungkapan ini adalah ungkapan metapora penulis Deutero-Yesaya (liht. John D.W. Watts, Word Biblical Commentary-Isaiah 34-66-Vol. 25 (USA: Work Books, Publisher. Waco, Texas, 1987) 193; Alec Motyer, dalam bukunya The Prophecy Of Isaiah-An Introducation & Commentary (USA: InterVersity Press 1993) 397 mengatakan bahwa ayat ini tidak ada kaitannya dengan masalah keluarga melainkan antara Yahwe dan Israel. Dalam Yes. 40:27 mencatat keluhan umat Israel terhadap Yahwe: “hakku tidak diperhatikan oleh Allahku”, termasuk hak sebagai “isteri”; bndYer.14:19. Maka atas tuduhan itu Yahwe membela diri dan bertanya kepada umat-Nya Israel KJV menterjemahkan "Where is your mother's bill of divorce, with which I put her away? LAI: “Di manakah surat cerai ibumu tanda Aku Telah mengusir dia”?, pengusiran pasti berkaitan dengan tempat dan terj. RSV memperlihatkan bahwa tempat itu sangat jauh, perhatikan! "Where is your mother's bill of divorce, with which I put her away”? terj. BGT memperlihatkan bahwa pengusiran itu bukan bersifat sementara tapi seterusnya jika tidak ada pertobatan. Perhatikan kata yang digunakan: ”ezapesteila” (Yun): to send forth, yaitu bentuk verb indicative aorist active 1st person singular from “ezapostello”: “send out, send away”. Yang menarik adalah penggunaan kata “ezapostello”, yaitu di satu sisi erat kaitannya dengan “pengusiran” dengan tangan hampa. Tapi di sisi lain kata ini juga berkaitan dengan pengutusan rasul Paulus, pengutusan Yesus sebagi Anak Tunggal Bapa, pengutusan Roh Kudus pada hari Pentakosta (lht.
Luk 1:53; 24:49 v.l.; Kis 7:12; 17:14; 22:21; Gal 4:4, 6). Dalam undang-undang perkawinan, “perceraian” itu sah (berlaku) ketika si isteri sudah diberi atau mendapatkan surat cerai. Artinya jika surat cerai itu belum atau tidak ada maka perkawinan itu tetap sah (bnd. Ul. 24:1-4). Dalam bagian ini juga ingin menegaskan bahwa Allah tidak pernah menceraikan umat-Nya, tetapi karena kesalahan merekalah mereka dibuang ke negeri Babel. Horst D. Preuss dalam bukunya Theology Of The Old Testament-Vol.2, (1996: 152) menyebut pembuangan umat Israel ke Babel dengan istilah kematian, sedangkan pemulihan adalah kebangkitan. Namun sekalipun Israel diusir karena kesalahannya, tapi Allah tetap mengasihi dan akan mengembalikan mereka ke tempat asalnya. Deutero-Yesaya berusaha meyakinkan mereka yang telah berputus asa supaya tetap memiliki pengharapan bahwa Allah akan menolong mereka. (lht. Yes.41:17-20; 42:24; 43; 26-27; 54:7); bnd. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1996) 112-113; Marie-Claire Barth, Tafsiran Alkitab-Kitab Nabi Yesaya 40-55 (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1983) 268-269; bnd. C. Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama, (Edisi Baru,Yoyakarta: Kanisius, 2005) 251-253.

Yesaya 50:1 adalah bagian dari Deutero-Yesaya (Yesaya kedua), yang berisi mengenai penghiburan-penghiburan kepada umat Israel yang telah dibuang di Babel tahun 597-538 / 587-539 sM. Sehingga tidak heran jika kitab ini sering disebut sebagai kitab penghiburan.[21] Mereka berpikir bahwa Yahwe telah dikalahkan oleh dewa-dewa sembahan orang Babel. Waktu masih di Yerusalem mereka digambarkan sebagai “isteri” Yahwe namun kini mereka diceraikan dan diusir ke tempat yang sangat jauh. Situasi pembuangan di Babel sungguh sangat berbeda dengan situasi waktu mereka masih tinggal di negeri sendiri (Yerusalem). Dalam hal inilah penulis Deutero-Yesaya berusaha menghiburkan umat Israel yang telah putus asa (tidak punya harapan lagi). Yerusalem tempat kehadiran Allah telah hancur dan itu menandakan bahwa Yahwe telah kalah. Tetapi Deutero-Yesaya memberi kesaksian yang sangat kontras, yaitu Yahwe tidak kalah, Dia tetap Allah Yang Maha-Kuasa, Khalik langit dan bumi, Dia adalah Allah yang hadir secara aktif. Oleh sebab itu itu, Yahwe menanyakan "Where is your mother's bill of divorce, with which I put her away?”. Frasa ini menunjukan bahwa Yahwe idak pernah menceraikan atau mengusir umat-Nya ke tempat yang sanga jauh, tetapi itu semua karena dosa dan ketidaktaatan mereka.

Penulis Deutero-Yesaya menggunakan kata “keritut” : ”perceraian” untuk menggambarkan keadaan Israel di pembuangan seperti seorang isteri yang diceraikan suaminya. Di lain sisi juga umat merasa bahwa Yahwe telah menceraikan mereka sehingga mereka seakan-akan tidak punya harapan lagi untuk kembali, karena telah diceraikan dengan sah. Dibuang ke negeri Babel berarti diceraikan, diputuskan, dihentikan, diusir atau ditelantarkan atau dikeluarkan dari rumah tanangga Allah. Demikianlah pemahaman mereka di negeri asing itu. Situasi pembuangan sangat berbeda dengan situasi waktu masih di Yerusalem. Di negeri Babel seperti tidak ada sumber kehidupan dan pengharapan bagi umat Israel untuk bertahan hidup. Artinya pembuangan tidak hanya seperti diceraikan, tetapi juga dipahami sebagai kematian (Host D. Preuss, 1996:152). Namun Deutero-Yesaya yakin bahwa Allah tidak pernah menceraikan mereka, tetapi pembuangan itu karena dosa yang mereka perbuat kepada Allah. Maka kalau mereka berbalik Allah akan menyelamatkan atau memulihkan mereka kembali, sedangkan Babel akan jatuh ke tangan Persia. Karena semakin hari Babel semakin lemah dan kerajaan Persia menjadi bangsa yang kuat, dan Koresy sebagai rajanya, dan kekuatan yang besar itu menjadi ancaman bagi Babel. Maka melalui kekuatan Persia Allah akan menyelamatkan umat-Nya, mereka akan menjadi Mesias yang dipakai Allah untuk membebaskan umat-Nya. Peristiwa janji pemulihan menandakan bahwa Allah tidak pernah menceraikan umat-Nya. Jadi kata “keritut”: “perceraian” juga bisa disebut sebagai “keterpisahan Israel dari Allah”.

Yeremia 3:8
Mengenai ayat ini para ahli penafsir sepertinya mengalami kesulitan dalam menterjemahkan kata “waere”. Analisis: “we” particle conjunction “raah” verb qal waw consec imperfect 1st person common singular. J.A. Thompson mengikuti terjemahan RSV, MT, yaitu “She saw”; Robert M. Paterson menterjemahkan “aku melihat”; LAI mengikuti beberapa salinan LXX, yaitu “dilihatnya”; BGT: “kai eidon”; KJV: “and I saw”; NIV: “I gave”. Dari semua terjemahan di atas menurut saya kurang tepat, karena jika kita melihat secara linguist (bahasa) kata “waere” bentuk orang pertama tunggal kemudian diawali dengan penghubung dan. Awalan dan bagi ayat ini sangat penting karena menghubungkan ayat ayat 8 dengan ayat yang ada di atasnya. Maka saya mengusulkan terjemahan : “dan aku melihat”. Kalimat ini memperlihatkan sifat Yehuda adalah tidak mau belajar dari kesalahan. Ia telah melihat sendiri mengenai kejatuhan Israel Selatan dan penduduknya diangkut ke Asyur karena tidak mau berbalik kepada Allah. tapi Yehuda tetap bekerja sama dengan Asyur dan bahkan rajanya Ahaz yang memerintah di Yehuda saat itu mendirikan mezbah dewa-dewa asing di Yerusalem untuk disembah bersama rakyat (2 Raj. 16:10). Selain itu juga, Ahaz rajanya itu mempersembahkan anaknya sendiri kepada dewa molokh (2 Raj. 16:3). Molohk adalah dewa sembahan bani Amon (1 Raj. 11:7; 2 Raj. 23:10; Yer. 32:35; Im. 18:21; 20:2-5), dewa ini dipercayai sebagai penolong saat mengalami krisis, Mesa raja Moab juga pernah mempersembahkan anaknya kepada Molokh (liht. Weiden, 2000: 51; bnd. Vriezen, 2006: 236-237).

Yeremia mulai pelayanan pada masa pemerintahan Yosia (626 sM.) menjelang pembuangan ke Babilonia dan berlanjut hingga masa pemerintahan Yoyakim, Yoyakin, dan Zedekia. Ia menubuatkan bahwa Yehuda akan dibuang dan Bait Allah akan dihancurkan karena umat Israel tidak setia lagi kepada Allah dan mereka hidup bersinkretisme dengan dewa-dewa Asyur (lht. Blommendaal, 1996: 116-117). Memang jika kita melihat pada masa pemerintahan Yosia, situasinya relatif aman, namun pada masa sesudahnya yaitu pada masa Yoyakim, Yoyakhin, dan Zedekia situasi menjadi krusial[22]. Sekursial apa? Dapat dilihat dalam dua sisi yang memperlihatkan dengan jelas bahwa Yehuda dalam keadaan terjepit: yang pertama secara internal Yehuda mengalami kebobrokan dan kemerosotan iman yang sangat parah, sehingga kecaman itu dengan tajam dikemukakan oleh Yeremia bahwa Allah akan membuang umat-Nya. Yang kedua adalah secara eksternal Yehuda berada dalam situasi politik internasional yang sangat mencekam. Babilonia dan Mesir adalah dua kerajaan besar yang saling bertikai dan memperebutkan kekuasaan dengan daerah-daerah sekitarnya tarmasuk di dalamnya ada Yehuda.[23] Dalam tesisnya Elisamark mengatakan bahwa dalam keadaan yang demikian Yehuda berada pada posisi “buah simalakama”.[24] Pada masa pemerintahan Yoyakim Yehuda berpihak atau bekerja sama dengan Mesir, sehingga hal itu menjadi pemicu kemarahan kerajaan Babel. Maka Babel melancarkan serangan pertama atas Yehuda dan dalam keadaan yang demikian Yoyakim meninggal dunia. Kemudian digantikan oleh anaknya Yoyakhin, tetapi ia menyerahkan diri sehingga dibawa ke Babel sebagai tawanan dengan rajanya Nebukadnezar. Keadaan semakin parah atau memuncak pada masa pemerintahan Zedekia[25]. Kebohongan atau kepalsuan yang dilakukan umat Israel dalam ibadah membuat Allah murka dan akan membuang mereka karena tidak setia pada perjanjian dan tidak mau bertobat kepada Allah.[26]
Jika kita melihat ayat sebelumnya, yaitu ayat 1-5 Yehuda digambarkan lebih jahat dari perempuan yang diceraikan karena perbuatannya yang tidak senonoh, dan Yehuda tidak mau belajar dari hukum-hukum Allah yang dinyatakan dalam bentuk kekeringan tanah dan bencana-bencana alam lainnya. Dalam ayat 6-11 kelakuan Yehuda tidak bermoral dan lebih parah (meningkat) dari kelakuan Israel Utara. Yehuda tidak mau belajar dari pengalaman Israel Utara yang telah dibuang ke Asyur tahun 722 sM.[27] malahan tunduk kepada Asyur dan menyembah dewa-dewanya. Yehuda mengalami krisis yang sangat parah, yaitu kemerosotan iman akibat bersinkretisme dan terlibat dalam politik Internasional. Dalam keadaan demikian Yeremia mengambil bagian untuk mengadakan pembaharuan di bidang agama[28] dan tampil sebagai nabi pada masa pemerintahan raja Yosia. Tetapi ia dibenci oleh bangsanya, terutama oleh Yoyakim. Kemudian nubuatnya dituliskan oleh Barukh dan dibacakan kembali. Tetapi Yoyakim marah dan membakar seluruh semua gulungan nubuat itu. Serangan yang dilancarkan oleh Babel menjadi ancaman bagi Yehuda. Kekuatan Asyur dan Mesir yang diandalkan ternyata dikalahkan oleh Babel. Sehingga berbagai penderitaan pun semakin memuncak dan para negarawan, hartawan, ilmuwan, tukang-tukang dan orang pintar lainnya diangkut ke Babel tahun 597 sM. itulah pembuangan pertama. Tetapi kejadian itu belum benar-benar puncaknya karena Yerusalem belum hancur karena Zedekia diangkat oleh Nebukadnezar untuk memerintah atas Yehuda dan ia pro-Babel. Namun ketika Zedekia berusaha meloloskan diri, tetapi ia tertangkap dan semua anaknya dibunuh, ia sendiri dibutakan dan diangkut ke Babel dan Yerusalem dihancurkan, dibakar habis dan disama ratakan dengan tanah tahun 587 sM. itulah pembuangan kedua.

Dari keterangan diatas memperlihatkan dengan jelas bahwa masyarakat Yehuda merasa bahwa Yahwe telah pergi meninggalkan mereka atau “diceraikan olah Yahwe” dan mereka seakan-akan dibiarkan dalam keadaan sangat menderita. Yerusalem yang diyakini sebagai tempat kehadiran Allah, karena di sanalah Dia bertakhta. Tapi kini dihancurkan, dibakar dan bahkan disama ratakan dengan tanah. Dalam keadaan demikian mereka mempertanyakan di mana Yahwe saat itu. Sehingga tidak heran ada yang berpikir bahwa Yahwe telah dikalahkan oleh dewa-dewa Babel. Mereka berpikir Allah telah menceraikan mereka, tetapi Allah tidak pernah menceraikan mereka, melainkan semua itu terjadi karena ketidaktaatan mereka.

Kitab Maleaki 2:10-15
Maleaki adalah nabi yang tampil setelah Bait Allah selesai dibangun sesudah pembuangan di Babel atau sesudah tahun 518 sM, namun ia bertindak sebelum Ezra dan Nehemia, yaitu sebelum tahun 450 sM di Yerusalam (Blommendaal, 1996, hal 143). Jika kita perhatikan pada masa Maleaki, perkawinan campur merupakan persoalan besar yang terjadi di kalangan Umat Israel, sehingga terjadi kemerosotan iman. Banyak parempuan yang diceraikan oleh suaminya supaya bisa kawin lagi dengan perempuan-perempuan asing, yang dengannya juga mereka beribadah kepada dewa-dewinya. Karena ketika umat Israel yang menikah dengan perempuan asing, mereka juga sekaligus mempraktikkan agama isteri-iaseri asnig itu. Sehingga hal inilah yang menyebabkan nabi mengecam tindakan yang dilakukan oleh umat, karena sesungguhnya Allah membenci “perceraian” yang dilakukan mereka. Menikah dengan perempuan asing otomatis warisan nenek moyang Israel juga berpindah tangan. Tanah yang diwariskan adalah pengenapan perjanjian Allah kepada umat-Nya Israel, maka tindakan ini sama dengan penghianatan terhadap perjanjian Allah. (Baca G. Von Rad, The Old Testament Library-Deuteronomy-A Commentary (London: SCM Press LDT, 1966 : 150). Ternyata perceraian menurut nabi Maleaki penghianatan atas perjanjian Allak kepada umat-Nya Israel. (bnd. John Stott, Isu-Isu Global-Menantang Kepemimpinan Kristiani-Penilaian Atas Masal sosial dan Moral Kontemporer (terj. G.M.A. Nainggolan), (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 1994), hal 370, 376-377.

Ayat 10-12
Ayat 10 mengawali perikop ini dengan frasa “satu bapa”. Jones mengatakan bahwa kata “bapa” menunjuk kepada Abraham dan nenek moyang umat Israel yang lainnya. Selanjutnya dilanjutkan dengan frasa “satu Allah”. Ini ingin menunjukan bahwa baik Abraham dan nenek moyang mereka yang lain itu setia kepada Allah. Namun mengapa sekarang mereka tidak setia, dan malah menjadi penghianat. Nabi Maleaki melihat tindakan penghianatan yang dilakukan Israel itu adalah bukti bahwa mereka menyangkal Allah yang menciptakan manusia. Penghiananat itu dilanjutkan pada ayat 11 yang mengatakan perbuatan itu adalah kekejian. Dalam bahasa Ibraninya adalah “weto’ebah”, RSV menterjemahkan “Abomination”. Kata ini berkaitan erat dengan perbuatan-perbuatan atau barang-barang yang dibenci oleh Allah, misalnya berhala-berhala, pelanggaran etis seperti perkawinan campur itu sendiri. Kemudian ditutup dengan ayat 12, bahwa yang berbuat demikian harus dilenyapkan dari komunitas. (baca Pieter A. Verhoef, The New International Commentary On The Old Testament, The Books Of Haggai And Maleachi (Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company), 1988 : 262; bnd Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab, Kitab Nabi Maleaki (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985 : 38-42.)

Ayat 13-16
Bagian ini dimulai dengan perbuatan ibadah yang dilakukan umat Israel, namun hatinya tidak tertuju kepada Allah, dikatakan “kamu menutupi mezbah Tuhan dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan”. Artinya adalah sekalipun mereka menangis, merintih dalam doa saat mempersembahkan korban di Mezbah, Tuhan tidak akan mendengarkan mereka. Mengapa? ayat 14 memberi penjelasan, karena mereka “tidak setia pada isteri masa muda”. Isteri masa muda menunjuk kepada isteri pertama yang ditetapkan Allah menjadi teman sekutu dan seperjanjian. Artinya ketika seseorang menikah ia berjanji untuk setia sehidup semati. Perjanjian itu tidak hanya menyangkut manusia kepada manusia, tetapi lebih jauh lagi, yaitu kepada Tuhan. Karena Dia adalah Allah yang tidak ada duanya, yang menciptakan dan menjadikan mereka satu. Dengan kata lain perjanjian pernikahan itu didasarkan pada perjanjian Tuhan kepada umat-Nya (ayat 15). Oleh sebab itu perceraian dilarang oleh nabi Maleaki. Ayat 16 menutupnya dengan frasa “Sebab Aku membenci perceraian” dalam bahasa Ibraninya “Dia membenci”. Namun kebanyakan ahli tafsir seperti terjemahan LAI, mungkin supaya lebih tajam karena diungkapkan oleh Allah sendiri. Jadi perikop ini memberi informasi bahwa perceraian adalah salah satu bukti pemberontakan atau ketidak setiaan kepada perjanjian Allah.

Kesimpulan Teologis dan Relevansinya Bagi Orang Percaya
Dari pembahasan di atas memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama hampir tidak menyinggung masalah perceraian. Namun tidak berarti itu diabaikan, melainkan mungkin karena perceraian bukanlah masalah pokok saat itu. Dengan demikian, kemungkinan juga hukum-hukum yang melarang perceraian itu belum ada saat itu. Karena jika kita bertolak dari Ul. 24:1-4 maka perlindungan terhadap perempuanlah yang menjadi pokok utama dari hukum tersebut (lht. G. von Rad, 1956: 22; Raymond Borwn, 1993: 227-229; P.C. Craigie, 1976: 304-305; Wright, 2000 : 182). Sedangkan dalam kitab Yesaya 50:1 dan Yeremia 3:8 menunjuk pada masalah pembuangan, yaitu Israel dibuang ke Babel berarti diceraikan oleh Allah.

Maka saya menyimpulkan bahwa Perjanjian Lama satu suara mengatakan (sepakat) tidak mengijinkan perceraian. Artinya mutlak bahwa Allah tidak mengijinkan perceraian. Namun perlu diketahui bahwa perceraian merupakan fakta yang tidak dapat disangkal. Memang ada beberapa ahli yang mengijinkan tapi “kekecualian”. Karl Barth menyebutnya dengan istilah "possible impossibility", yaitu sesuatu yang pada hakikatnya tidak mungkin, tetapi dalam kenyataannya menjadi mungkin, bahkan banyak terjadi. Eka Darmaputera mengatakan adalah kesalahan jika “kekecualian” dianggap sebagai “aturan umum”. Namun saya tetap mengatakan bahwa “perceraian” adalah perkawinan yang gagal serta tragedi yang tidak dikehendaki oleh Allah dan penyimpangan dari maksud ideal Allah dan pembrontakan terhadap janji ilahi yang mulia. Maka ada beberapa alasan mengapa percerain itu dilarang :

Perceraian adalah tidak terdaftar dalam rencana Allah,
Pelanggaran terhadap perjainjian suci Allah atas pernikahan,
Penyimbangan dari maksud ideal ilahi atau tujuan Allah,
Tindakan penghianatan dan pemberontakan terhadap janji-Nya (bnd. Mal. 2:16);
Ketidak setiaan pada perintah Allah (Ezra 10:10).
Serta merendahkan harkat dan martabat atau nilai dan hak sesama ciptaan-Nya.

Catatan:
[1] Kata keritut memberi penegasan bahwa perceraian biasa dilakukan ketika seorang laki-laki / suami mendapati istrinya melakukan tindakan yang tidak senonoh (tak terpuji), tapi harus ada bukti-bukti yang kuat dan mendukung supaya tidak berat sebelah. (lht. The Interpreter’s Dictionary Of The Bible – An Illustrated Encyclopedia A-D / Vol. 1, (New York: Abingdon Press 1962), 859.
[2] Theological Wordbook Of The Old Testament-Vol. 1-R. Laird Harris, Editor, Gleason L. Acher, Jr., Associate Editor and Bruc K. Waltke, Associate Editor (UAS: Moody Press-Chicago, 1984), 456-457.
[3] Dalam terjemahan LXX kata “keritut” lebih diperluas lagi, yaitu ditujukan kepada dua nelah pihat (laki-laki dan perempuan). Perhatikan kata apostasion dalam bentuk noun genitive neuter singular common from. Perubahan ini mungkin sekali karena pihak laki-laki juga pernah diceraikan oleh isterinya. Artinya kasus “perceraian” bisa dialami oleh pihak laki-laki dan pikah perempuan.
[4] Lht. Willeam A. VanGemeren (Editor umum), New International Dictionary Of Old Testament Theology & Exegeisi-Vol. 2, (Zondervan, Grand Rafids, Michigan 1997), 718, yang dikutip dari Driver, 269; Robinson, (1907: 177); Smith, (1918: 276); Von Rad, 150; Thompson, 243-244; Maryes, 322 dan Craigie, 304.
[5] Pernikahan kontrak biasanya terjadi dalam situasi peperangan. Roland de Vaux, Ancient Israel-It Life and Institutions (Darton, Longman & TODD London), 1968: 35 mengatakan “the husband made out a declaration contradicting that which had sealed that marriage contract”.
[6] Henk ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1990), 46.
[7] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat 1 Dan 2 Timotius, Titus, Filemon (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2001), 106.
[8] The Jewish Encyclopedia 12 (New York, tanpa tahun), 557.
[9] Baca Daniel Rops, Daily Life In Palestina At The Time Of Christ (London, 1962), 128.
[10] Untuk lebih jelas lht. Raymond Borwn, The Message Of Deuteronomy-The Bible Speaks Today, Leicester, England Downers Grove, Illionis, (USA: Inter-Varsity Press 1993) 227-229; bnd. Ian Cairns, International Theological Commentary-Deuteronomy-Word And Pressence, (Wm. B. Eermans Publishing Company 1992) 210, yang mengatakan: “The ancient Near Estern codes attest that divorce normally involved a monetary settlement; this presumably was also the case in Israel, though it is nowhere ststed”.
[11] The Interpreter’s Bible-Vol. 2 (New York: Abingdon-Cokesbury Press 1953) 473-474.
[12] Setiap laki-laki yang diikutsertakan untuk berperang terutama bagi yang sudah memiliki isteri, maka ia harus mengaku di depan umum bahwa ia sudah tidak lagi cinta dengan isterinya sehingga mereka melakukan kawin kontrak dengan para wanita tawanan. Roland de Voux (1968 : 35) mengatakan, setiap daerah memiliki pengakuannya sendiri-sendiri, misalnya jaman penjajahan Elephantine seorang suami mengatakan di depan para saksi: ‘I divorce my wife’, harafiahnya: ‘I hate my wife’. Di Assyria: ‘I reputiate her’ or ‘you are no more my wife’
[13] Lht.Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hal 68; J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) 19-20; bnd.
[14] Georg Foher mengatakan dalam bukunya History Of Israelite Religion (Translated by David E. Green), 1981, hal 175, bahwa hukum dalam Ul 24:1-4 sifatnya komplit, yaitu praktik peribadatan kepada ilah-ilah asing (Asyur dll), yang dihubungkan dengan masalah seksual yang menyebabkan kemerosotan iman Israel kepada Allah.
[15] Lht. Gerhand von Rad, Studies In Deuteronomy-Studies In Bibical Theology No.9, (London: SCM Press LTD 1956) 22; bnd. Raymond Borwn, (1993: 227-229); P.C. Craigie, The International Commentary On The Old Testament-The Book Of Deuteronomy (USA: Wm.B Eerdmans, Publishing Company Grand Rapids, Mich 1976) 304-305; Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah-Etika Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000:182; Thompson, Deuteronomy An Introduction & Commentary (London: Inter-Versity Press, 1974), 243-245 ; J.W. Wenham, Our Lord’s View Of The Old Testament (London: The Tyndale Press, 1953), 30-31.
[16] Ensiklopedi Aklitab Masa Kini-jilid 2, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF) 2004, hal 157.
[17] Kata yang diterjemahkan dengan tidak senonoh adalah, : telanjang, pamer aurat (Ing.nakedness). Masalah ini juga yang diperdebatkan oleh Rabi Shammai dan Rabi Hillel, dan dikatakan bahwa kata semborono ini juga memiliki kaitan dengan perempuan yang “tidak disukai” oleh suaminya atau suaminya yang kedua tidak lagi cinta kepadanya. (lht. John Stott, Isu-isu Global (1994: 376-377); The Interpreter’s Bible-Vol. 2 (1953:473) ; The Interpreter’s Dictionary Of The Bible- A-D / Vol. 1 (1962: 859); New International Dictionary Of Old Testament Theology & Exegeisi-Vol. 2 (1997: 718).
[18] Paul R. House, Old Testement Theology (USA: InterVersity Press, 1998) 190-191.
[19] Mungkin inilah dasar dari pemikiran Manley yang mengatakan bahwa Ul. 24:1-4 adalah sebagai hukum-hukum “pemberontakan/ clemency” pada masa reformasi Yosia. Lht. Manley, The Book Of The Low- Studies In The Date Of Deuteronomy, (London: The Tyndale Press, 1957), 103, 181.
[20] Lht. Hans Walter Wolff, Anthropology Of The Old Testament-Second Printing (SCM Press Ltd, London & Forteress Press, Philadelphia, 1975) 173-176. Ia mengatakan bahwa di kalangan umat Israel “perceraian” erat kaitanya dengan Yahwe. Oleh sebab itu Ul. 22:28 melarang perceraian atau tidak mengizinkan perceraian (not allowed to divorce) karena itu menyangkut hidup yang panjang. Sedangkan dalam Ul. 24:1-4 merupakan aturan lebih lanjut yang menjadi persyaratan atau yang menjamin kondisi maupun keadaan umat Israel di tanah perjanjian-Nya.
[21] Darmawijaya Pr, Warta Nabi Masa Pembuangan Dan Sesudahnya (Yogyakarta: Kanisius Lembaga Biblika Indonesia 1990) 71.
[22] Untuk lebih jelas lagi lih. Otto Eissfeldt. The Old Testament An Introduction : The History of the Formation of the Old Testament. terj. Peter R. Ackroyd. (New York & Evanston : Harper and Row Publishers, 1965) 347.
[23] William L. Holladay. Jeremiah I : A Commentary on the Book of the Prophet Jeremiah Chapter 1-25. (Philadelphia : Fortress Press, 1986) 7.
[24] Elisamark, Teo-politik Yeremia dan Hananya-Studi Eksegese Yeremia 28:1-17 (Cipanas: 2008) 3.
[25] Zedekia adalah raja yang pro-Babel karena ia sendiri diangkat oleh Nebukadnezae, lht. Blommendaal, 1996 : 117-118; bnd. John Bright. A History of Israel. (London : SCM Press Ltd., 1962) 306-309. Lih. juga J. Blommendaal. Pengantar kepada Perjanjian Lama. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005) 118; Elisamak, (2008: 4); bnd. H. Cunliffe-Jones, The Book Of Jeremiah-Introduction And Commentary (London: SCM Press LTD, 1960) 60, mengatakan kejahatan itu memuncak karena Yehuda terus tidak mau bertobat.
[26] Liht. Walter Brueggemann, A Commentary On Jeremiah-Exile & Homecoming, (USA: Wm. B. Eerdmans Publishing Com. Grand Rapids, Michigan/ Cambridge, U.K., 1998) 45; bnd. James Muilenburg, The Terminology Of Adversity In Jeremiah, (Translating & Understanding The Old Testament), ed: Harry Thomas Fank and William L. Reed (Nashiville: Abingdon, 1970) 42-63; bnd. Robert. M. Paterson, Tafsiran Alkitab-Kitab Yeremia 1-24 (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1983) 78
[27] Lht. J.A. Thompshon, The New International Commentary On The Old Testament-The Book Of Jeremiah, (USA: Wm. B. Eerdmans Publishing Com. Grand Rapids, Michigan), 1992, hal 195-196. Mengatakan bahwa ini terjadi ketika masa Samaria atau dibuang ke Asyur tahun 722/1 sM. (2 Raj. 17:1-18), yang dipimpin oleh raja Tiglath-Pileser III (745-726 sM).
[28] Untuk lebih jelas lht. Tremper Longman III, New International Biblical Commentary-Jeremiah, Lamentations, (USA: Hendrickson Biblical Commrntary), 2008, 41.