Senin, 05 Maret 2012


Mampukah Kita Mengikis Konflik Sosial?
Oleh: Prasasti Perangin-angin (Mahasiswa STT Cipanas, aktif di Perkantas dan Perkamen.)
Akhir-akhir ini hati kita miris melihat konflik sosial terjadi di berbagai tempat. Belum tuntas kasus di Mesuji, Bima, sekarang terjadi di Sidomulyo Lampung. Konflik antarwarga maupun konflik antara warga dan aparat itu telah ‘membunuh’ korban jiwa, harta benda yang lenyap seketika, dan rusaknya keterikatan sosial masyarakat. Kebinekaanpun terancam.
Beranjak dari berbagai konflik ini, jejak pendapat yang dilakukan Kompas (30/1/12) menyimpulkan negara melemah dihadapan konflik. Meningkatnya beragam konflik sosial belakangan ini telah menurunkan kadar keyakinan publik terhadap kemampuan negara mencegah konflik dan memelihara stabilitas serta ketertiban sosial. Pada saat yang sama, penilaian terhadap kebersamaan sosial dan toleransi antarwarga juga cenderung menurun.
Tren melemah ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama dipengaruhi oleh aparat negara yang tidak lugas mengerjakan tugas untuk memberikan rasa aman dan adil di dalam kehidupan masyarakat. Alih-alih menjaga ketertiban sosial dan rasa aman bagi setiap warga negara, aparat negara bahkan dianggap menjadi sumber pemicu masalah dan gagal mengerjakan tugas yang diamanatkan. Sebagaimana yang terjadi di Mesuji, aparat yang seharusnya melindungi warga justru disinyalir berpihak kepada perusahaan kelapa sawit dan bertindak anarkis terhadap warga. Ini adalah sebuah ironi negara hukum.
Karena melemahnya dan gagalnya aparat negara memberikan rasa aman kepada masyarakat menyebabkan prasangka negatif publik terhadap aparat negara. Menurut jejak pendapat Kompas (30/1/12) hampir tiga dari empat responden menilai aparat kepolisian tak mampu mencegah dan menanggulangi konflik sosial tersebut. Ini adalah satu tamparan dan evaluasi yang kritis terhadap aparat keamanan di dalam penegakkan fungsinya. Karena apa jadinya negara apabila tanpa ada aparat yang memiliki wibawa hukum?
Faktor kedua dipengaruhi melemahnya toleransi antar masyarakat. Jejak pendapat Kompas melaporkan separuh lebih bagian responden menilai ada penurunan dalam saling menghargai dan toleransi dalam masyarakat. Sekat-sekat sosial semakin tajam. Perbedaan tidak dapat dilihat sebagai kekayaan dan keindahan.
Sayangnya lagi, konflik sosial antarwarga kerap terjadi dikarenakan masalah sepele. Faktanya, masalah yang tergolong persoalan kecil berakhir dengan bentrok antar kampung dan pembakaran rumah warga. Saya terkadang berpikir, apa yang ada di dalam benak masyarakat kita sehingga persoalan kecil menjadi sebesar itu? Apakah tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan berdialog? Disinilah saya melihat akar persoalan itu adalah toleranis telah terkikis habis. Hanya dimulut kita membicarakan nilai-nilai toleransi namun pada prakteknya persoalan kecilpun, kita tidak kuasa untuk membendungnya.
Ekses dari itu, hukum rimba yang terjadi. Yang kuat mengalahkan yang lemah. Yang mayoritas sewena-wena terhadap yang minoritas. Toleransi, saling menghargai, saling menopang, saling menolong, berdialog, dan bijaksana telah jauh dari kehidupan sosial masyarakat kita. Kebinekaan yang merupakan lambang ideologi bangsa telah runtuh ketika perbedaan etnis, suku, rasa dan agama tidak bisa kita hargai sebagai bagian integral di dalam kehidupan berbangsa dan negara. Ego primordialisme seperti inilah yang harus kita kikis jika memang kita hendak hidup rukun di dalam keperbedaan ini.
Faktor yang ketiga, menurunnya sikap patuh warga terhadap tatanan hukum. Hukum yang sejatinya harus dipatuhi dan dihormati diganti dengan sikap main hakim sendiri dan hukum alampun terjadi. Yang kuat menghukum yang lemah. Yang mayoritas menjatuhkan vonis terhadap yang minoritas. Mayoritas selalu menang ketika tatanan hukum tidak dipatuhi.
Kesemuanya itu terjadi diakibatkan oleh melemahanya penanaman nilai-nilai agama dan kebudayaan ditengah masyarakat. Ketidakadilan sosial, kemiskinan, pendidikan atau kebijakasanan warga yang masih barbar dan ketimpangan yang kaya dan yang miskin adalah pemicu, namun yang paling mendasar adalah nilai agama dan budaya itu telah terdegradasi. Nilai agama yang semestinya menjadi kontrol dan penuntun bermasyarakat tidak berfungsi. Sehingga ketika tidak ada kontrol maka yang terjadi adalah cerminan masyarakat ‘tak beragama’ dan berbudaya.
Sehingga menurut saya, konflik seyogianya dapat dikikis dengan mengembalikan fungsi agama sebagai panduan hidup dan kontrol di dalam bermasyarakat. Agama di dalamnya terdapat ajaran atau pedoman hidup yang mengatur sistem kehidupan dan tata keimanan, kepercayaan, dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Tidak hanya itu, agama juga mengatur tata kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungan. Fungsi agama yang demikian, sejatinya mampu mengikis tindakan aparat negara untuk bertanggungjawab mengerjakan fungsinya di dalam penegakkan hukum dan keadilan. Karena tanpa hukum ditegakkan dan keadilan menjadi tonggak utama maka main hakim sendiri dan benturan akan terus terjadi. Agama sejatinya mengingatkan dan mengevaluasi aparat negara bertindak adil karena keadilan disenangi Tuhan Yang Mahakuasa.
Lalu, agama juga sejatinya menjadi tempat setiap warga sesuai dengan keyakinannya untuk dibentuk dengan nilai-nilai toleransi. Bukan sebaliknya, agama menjadi ‘biang kerok’ konflik itu. Karena saya sungguh yakin, semua agama mengajarkan untuk menghargai, mengkasihi, melakukan apa yang baik, dan saling memaafkan kepada sesamanya manusia meskipun harus berbeda agama, etnis, ras dan golongan. Ketika itu yang ditanamkan maka, ego primordialisme dapat dikikis di dalam kita bermasyarakat. Dengan demikian konflik horizontal tidak terjadi di tengah masyarakat yang super majemuk ini. Segala permasalahan bisa diselesaikan dengan dialog yang berbudaya. Kalau ada dialog dan kita mencoba saling mendengar, maka perbedaan dan kebinakaan akhirnya menjadi sebuah rahmat yang Tuhan Mahakuasa berikan bagi Indonesia untuk kita nikmati dan syukuri di dalam kebersamaan. (Penulis Mahasiswa STT Cipanas, Aktif di Perkantas dan Perkamen)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar