Rabu, 28 Juli 2010

SISI LAIN MUKJIZAT

oleh: Edi P. Labang
(Mahasiswa semester akhir STT Cipanas)


Mukjizat merupakan topik yang cukup paradoksal; jarang dialami, banyak dinantikan. Di kalangan Kristen, mukjizat bukan semakin ditolak namun semakin digandrungi. Meskipun demikian, di ekstrem yang lain perkembangan ilmu pengetahuan juga mendorong sekelompok orang lainnya (Kristen maupun non Kristen) untuk menolak semua hal yang tidak dapat dijelaskan secara ilmiah.

Mukjizat seringkali dipikirkan sebagai peristiwa yang terjadi berlawanan dengan hukum alam sehingga tidak dapat diterangkan oleh akal budi dan ilmu. Peristiwa-peristiwa seperti: Laut yang tiba-tiba surut mengering, matahari yang diam tak bergeser, air yang berubah menjadi anggur, roti yang sedikit, cukup untuk memberi makan ribuan orang, orang sakit sembuh dan orang mati hidup lagi, dianggap menyalahi hukum alam yang berlaku.

Menurut pandangan beberapa teolog, salah seorang naturalis yang amat berpengaruh dalam penolakannya terhadap mukjizat adalah David Hume (1711 –1776), seorang filsuf dan sejarawan yang juga memainkan peranan kunci dalam sejarah filsafat Barat dan Pencerahan di Skotlandia. Argumentasi penolakan Hume terhadap mujizat dapat dirangkumkan sebagai berikut: Hukum alam secara definisi adalah deskripsi dari peristiwa yang terjadi secara teratur; Mujizat secara definisi adalah peristiwa yang jarang terjadi; Bukti untuk hal yang teratur selalu lebih besar daripada yang jarang; Orang yang bijaksana selalu mendasarkan kepercayaannya pada bukti yang lebih besar; Oleh karena itu, orang yang bijaksana seharusnya tidak pernah percaya mujizat. Ringkasnya, kesaksian tentang mukjizat harus ditolak oleh orang terdidik dan berakal sehat. Menurut Martin Harun, kalau diamati dengan baik, argumen sang empiris Hume ini lebih manyangkut ketidakmungkinan untuk mengetahui mukjizat daripada ketidakmungkinan terjadinya mukjizat.

Namun di sisi lain, menurut pandangan beberapa teolog yang bebeda, kitab suci tidak tahu apa-apa mengenai alam, apalagi hukum alam. Hukum alam adalah konsep ilmiah modern. Martin Harun misalnya yang mengutip pandangan John P. Meier, (A Marginal Jew), mengatakan bahwa ide yang muncul tentang mukjizat bertentangan dengan hukum-hukum alam kurang berguna untuk memahami kisah-kisah mukjizat dalam Alkitab, sebab menurutnya, gagasan alam – apalagi alam yang berjalan menurut hukum-hukum imanen – sama sekali absen dalam Alkitab Ibrani. Kata “alam” (Phusis) baru mulai muncul dalam kitab-kitab Deuterokanonika atau Apokrifa dalam Perjanjian Baru, dan di situ pun tetap dimengerti dalam terang Perjanjian Lama, yakni sebagai dunia ciptaan yang teratur oleh firman dan hikmat Allah, dan bukan oleh hukum-hukum yang tidak dapat dilanggar. Lagi pula, dewasa ini, banyak ahli ilmu pengetahuan yang dahulunya anti dengan mukjizat, kini mengatakan bahwa yang dipercaya sebagai mukjizat tidak dapat dikesampingkan secara a priori. Bagi mereka, ada jauh lebih banyak hal dari dunia kita yang penuh rahasia ini daripada yang kita tangkap. Martin Harun memberikan contoh, misalnya dari biro medis di Lourdes atau dari International Medical Committee di Paris, tentang kasus-kasus penyakit fisik serius yang secara mendadak disembuhkan tanpa dapat dijelaskan secara medis. Laporan-laporan ilmiah itu tidak akan menyimpulkan bahwa terjadi mukjizat, tetapi diserahkan kepada umat beriman atau instansi keagamaan untuk menarik kesimpulannya.
Mukjizat juga sering terlihat dari berbagai asumsi teologis yang mengatakan bahwa dunia ini penuh dengan mujizat bagi orang-orang yang mempunyai mata untuk melihat. Dengan perkataan lain, semua tindakan-tindakan Allah tertentu yang membuat kita heran, terkejut, kagum dan terpesona adalah mujizat. Dalam hal ini, mukjizat (miracle) sama dengan pemeliharaan Allah (providence). Misalnya, bangun pagi, mendapat nilai A waktu ujian, mendapat pekerjaan, selamat dari kecelakaan maut, sembuh dari sakit dll, adalah mujizat. Namun demikian ada asumsi lain yang mengatakan bahwa campur tangan Tuhan dalam pemeliharaan umat-Nya di setiap peristiwa kehidupan bukanlah mukjizat (miracle) melainkan pemeliharaan Allah (providence) yang meliputi kemurahan hati Tuhan (mercy). Orang-orang Kristen yang tidak membedakan antara mercy dengan miracle menjadikan kata mujizat menjadi sia-sia karena sering dipakai dalam konteks yang salah dan terlalu luas. Kebenarannya adalah mukjizat bukanlah peristiwa-peristiwa biasa.

Dewasa ini, berkembang pula asumsi teologis yang mengatakan bahwa, kisah-sisah mukjizat yang ada di dalam Alkitab dimengerti sebagai cerita-cerita yang sepenuhnya disusun oleh jemaat perdana berdasarkan cerita-cerita serupa yang beredar tentang pembuat mukjizat di dunia Yahudi dan Yunani-Romawi pada abad-abad itu. Dengan perkataan lain, mukjizat yang diceritakan di dalam Alkitab tidak sepenuhnya sesuai dengan fakta sejarah. Alasannya adalah, mukjizat muncul dalam kisah Yesus yang tercatat, pertama kali pada dasawarsa kedelapan dalam Injil Markus dan kemudian pada dasawarsa kesembilan dan kesepuluh dalam Injil-injil lain. Dengan demikian, mukjizat-mukjizat tampak sebagai sebuah sumbangan dari kurun waktu itu, antara tahun 70 sampai 100 M ketika Injil-injil ditulis. Kisah- kisah ini justru adalah usaha para murid Yesus untuk mengatakan bahwa Allah yang sama yang telah menciptakan dunia ini, yang mengendalikan unsur-unsur air dan angin, yang memberi makan nenek moyang mereka di padang belantara dengan makanan dari langit dan meluputkan mereka dari kematian di Laut Merah, telah dijumpai dengan suatu cara yang sepenuhnya baru dalam kehidupan insani Yesus dari Nazaret.

Lepas dari berbagai asumsi teologis di atas, perlu disadari bahwa di dalam Alkitab, cerita-cerita mukjizat itu sering terjadi di sekitar peristiwa-peristiwa atau tokoh-tokoh tertentu saja. Umpamanya dalam kaitan dengan keluaran dari Mesir, kehidupan Elia dan Elisa, pelayanan Yesus, dan pekerjaan para rasul dalam kitab Kisah Para Rasul. Sebaliknya dalam kitab para nabi, kitab kebijaksanaan dan surat-surat Paulus hampir tidak kita jumpai adanya mujizat. Kita juga melihat bahwa di dalam Alkitab, mujizat itu bisa dibuat oleh orang yang baik dan yang jahat, misalnya dalam cerita keluaran dari Mesir cukup banyak mujizat yang dilakukan oleh para ahli sihir Mesir melawan mujizat yang dibuat oleh Musa.

Perlu juga diingat bahwa para penulis Alkitab mengunakan peristiwa mujizat, karena pada waktu itu, kisah-kisah mukjizat jauh lebih manarik daripada khotbah, kata-kata bijak, atau gagasan-gagasan keagamaan yang baru atau asli. Kisah-kisah itu dapat terus-menerus diceritakan di sekitar api ungun pada waktu malam hari, dan dengan beberapa tambahan kisah-kisah ini akan selalu menarik dan membuat pendengar kagum. Di samping itu, kisah-kisah mukjizat adalah sarana yang mudah dan baik untuk meyakinkan para pembacanya. Hal ini dikarenakan bahasa mujizat dapat dimengerti dan ditangkap oleh semua orang pada waktu itu.
Hal lain yang perlu kita ketahui adalah, para penulis Alkitab mengunakan cerita mujizat itu dalam kaitannya dengan pemberitaan yang mereka lakukan. Dan dalam pemberitaan itu mereka lebih menonjolkan makna mujizat. Dengan perkataan lain, hal ini dibuat sebagai kisah teologis yang tujuannya menyampaikan kebenaran-kebenaran lain yang berada dalam tatanan nilai-nilai. Misalnya untuk menyampaikan ajaran-ajaran moral tentang hal yang baik dan hal yang jahat, hal yang benar dan hal yang salah, dan seterusnya, atau untuk menimbulkan efek dan respons pada emosi dan perilaku manusia terhadap sesuatu atau terhadap suatu figur insani tertentu yang menjadi objek-objek devosional/penyembahan keagamaan.

Pada masa kini, bahasa adikodrati abad pertama tidak saja membutakan mata kita terhadap makna Yesus, tetapi sebenarnya juga membuat gambar Yesus bagi kita tersimpang. Hal yang bukan prinsip menjadi prinsip. Yang dicari adalah Yesus yang berjalan di atas air, Yesus yang menyembuhkan orang sakit, Yesus yang memberi makan lima ribu orang, Yesus yang membangkitkan orang mati dan sebagainya. Padahal, yang menjadi pesan penulis Alkitab bukanlah pada mukjizat, tetapi kisah teologis mukjizat itu sendiri. Kisah teologis tersebut, digunakan oleh para penulis Alkitab untuk menjawab pergumulan umat dalam koteksnya masing-masing saat itu. Maka dalam konteks kita saat ini, sangat naif bila kita memaksakan apa yang bukan menjadi permasalahan atau pun pergumulan konteks kita. Pemaksaan-pemaksaan seperti inilah yang pada akhirnya menimbulkan berbagai kontroversi tentang mukjizat.

Sisi lain dari mukjizat, di mana kalau pada waktu dulu para penulis Alkitab mengunakan cerita-cerita mukjizat untuk menyampaikan kabar baik kepada setiap umat dalam konteksnya, itu mungkin karena cerita-cerita mukjizat tersebut sangat relevan dan efektif. Dalam konteks kita dewasa ini, mungkin mukjizat tidak relevan lagi untuk menjawab setiap persoalan dan pergumulan kita, tetapi Allah berbicara kepada kita dengan cara yang baru. Ia berbicara kepada kita dalam peristiwa dan masalah-masalah yang dihadapi zaman ini. Yesus dapat membantu kita mengerti suara ‘kebenaran’. Akan tetapi akhirnya kitalah yang harus memutuskan dan bertindak.

Kepustakaan

Harun, Martin., “Mukjizat:Keajaiban atau Tanda Simbolis”, Diskursus vol. 9, No. 1, April 2010.

Nolan, Albert., Yesus Sebelum Agama Kristen, Yogyakarta: Kanisius, 1991.

Spong, John Shelby., Yesus bagi Orang Non Religius, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008.