Selasa, 20 April 2010

MISSION FOR ALL NATIONS


Oleh:
Nam See King
(Anggota OMF International, dosen Misiologi dan Interkultural Studi di STT Cipanas, menyelesaikan studi doktoral bidang pelayanan di CTS Colorado, Amerika)

Misi bagi bangsa-bangsa itu monster!! Misi for all nations itu monster bagi non-Kristen dan Kristen. Suatu hari saya diundang ceramah tentang misi di sebuah Seminari Injili. Saat ceramah saya memberikan kebebasan pada Mahasiswa untuk bertanya bila memang ada yang perlu bertanya disaat ceramah berlangsung. Seorang mahasiswi tingkat akhir dari seminari itu berdiri dan dengan lantang berkata kepada saya bahwa sebaiknya saya STOP melakukan pekerjaan misi. Alasannya adalah di mana komunitas Kristen masih banyak yang perlu dilayani, misi menciptakan perpecahan dalam masyarakat, dan misi membuat tidak aman dalam suatu komunitas karena mengkristenkan orang, katanya dengan semangat. Reasonable!! Masuk akal!!

Seorang pendeta yang saya kenal dari suatu gereja yang mulai cukup berkembang karena kerinduannya membawa gerejanya bermisi, menceritakan secara panjang lebar bahwa keluarganya telah terusir dari gerejanya karena beberapa majelis yang tidak setuju melakukan misi, bekerja sama dengan hamba Tuhan junior di gerejanya mempropokasi jemaat agar dia tidak melayani lagi di gereja itu. Maka keluarlah hamba Tuhan itu dengan keluarganya dari gereja yang telah mereka rintis dari awal. Lalu pendeta itu digantikan oleh juniornya.
Mengapa misi for all nations itu seperti monster yang menakutkan? Masihkah kita percaya pada Alkitab kita adalah Firman Allah? Saya akan menekankan pembicaraan kita pada mengapa kita perlu bermisi bagi bangsa-bangsa?

Misi Gereja Tuhan adalah misi orang-orang beriman
Saya harus akui bahwa misi seringkali diartikan sebagai the expansion of Christianity among non-Christians, that is, among people not baptized with Christian baptism (Justice Anderson, 1998:2). Dalam konteks ini, kita selalu mengacu kepada Amanat Agung sebagai alasan utama mengapa kita melakukan misi (Matius 28:18-20; KPR. 1:8). Memang World Evangelization is the imperative of the NT. “The Gospel must first be proclaimed among all nations” (Mark 13:10). Menyadari perintah Alkitab ini maka orang-orang percaya yang dianggap tidak punya otoritas dalam suatu gereja, akhirnya mendirikan sending agencies seperti Dr.Hudson Taylor, dsb. “You don’t need a great faith, but faith in a great God” kata Hudson ketika berbicara tentang misi (Roger Steer, 1995:51).

Orang Beriman Bermisi karena God’s Covenant
Kalau kita mempelajari Alkitab secara komprehensif maka kita akan melihat bahwa misi yang dilakukan oleh orang percaya itu bukan semata-mata didasari oleh perintah Amanat Agung melainkan lebih dalam dari itu, yakni Covenant, perjanjian orang beriman dengan Allah-nya. The word “Covenant” itu artinya “come together”. Siapa yang “come together” dalam hal ini?
Alkitab berkata bahwa God and believers who come together (Kis. 3:25 refer to Genesis 22:18; 26:24). Oleh karena Perjanjian itu maka dikatakan “Aku akan menjadi Allah mereka dan mereka akan menjadi umat-Ku” (Ibrani 8:10). Kata ‘Covenant’ pertama kali muncul dalam Alkitab karena inisiatif Allah terhadap Nuh dalam rencana pemusnahan umat manusia (Kejadian 6:18). God said, “I will establish my covenant with you” (Genesis 6:18). Apa makna kata “Perjanjian” di sini menurut kita?
Untuk menikmati berkat Perjanjian itu maka Nuh harus percaya dan taat. Azas manfaat dari suatu perjanjian dinikmati kalau keduanya mentaati perjanjian itu. Lalu Tuhan menegaskan lagi pada Nuh bahwa perjanjian itu dibuat antara Allah dan Nuh dengan keturunan Nuh (Kejadian 9:9).

Kemudian Allah membuat perjanjian lagi dengan Abraham secara khusus. Ini dilakukan setelah keturunan Nuh mulai kabur dalam melaksanakan perjanjian itu. Abrahamic Covenant mulai dari Kejadian 12:1-7. Allah berkata bahwa, “all peoples on earth will be blessed through you” (Genesis 12:3c). Maka Abraham jadi amat kaya supaya bisa jadi berkat (Kejadian 13:2). Karena keragu-raguan Abraham terhadap janji berkat Allah maka Allah membuat penegasan perjanjian-Nya dengan Abraham (Kejadian 15:1-6; 7-8 dan 18). Perjanjian itu diperluas hingga ke keturunan Abraham (Kejadian 17:7). Perjanjian itu An Everlasting Covenant. Sementara itu dipihak Allah, Dia menuntut ‘materai darah’ sebagai ikatan perjanjian itu (Kejadian 17:9-11).
Dalam konteks Israel pada masa perbudakan di Mesir, Allah memperhatikan mereka karena perjanjian “An Everlasting Covenant” (Keluaran 2:23-25). Selama 430 tahun orang Israel dalam perbudakan (Keluaran 12:40), mereka tidak membuat korban bakaran (Keluaran 3:18). Dengan kata lain, mereka mengingkari perjanjian maka Tuhan tidak bicara pada mereka. Tapi Tuhan ingat pada perjanjian-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub maka Tuhan menolong mereka. Maka Allah memanggil Musa sebagai ‘misionaris’ Allah yang pertama untuk membawa umat kembali beribadah kepada Tuhan Yahweh yang benar (Keluaran 3:2-10). Tujuan panggilan Abraham adalah supaya nama Tuhan Yahweh dinyatakan kembali di antara orang Israel secara khusus dan bangsa-bangsa lain secara umum (Keluaran 6:1-7). Maka Allah mulai berbicara kepada Musa dan memberikan Ten Commandements (Keluaran 20:1-17).
Jadi 10 perintah Allah itu adalah untuk menuntun umat-Nya supaya mereka dapat meneruskan perjanjian ilahi itu. Covenant adalah alasan adanya 10 perintah Allah supaya Allah dapat terus memberkati umat-Nya. Ingatlah konteks Keluaran 24:1-7 ketika Musa turun dari gunung Sinai dan mulai berbicara pada umat Israel. Keluaran 24:3, “Lalu datanglah Musa dan memberitahukan kepada bangsa itu segala Firman Tuhan dan segala peraturan itu”. Firman Tuhan dan segala peraturan itu merujuk pada Covenant with God. Kemudian Keluaran 24:12 Tuhan memanggil Musa untuk menghadap guna penulisan Hukum-hukum itu.
Untuk menjaga keabsahan Covenant itu, darah selalu menjadi materainya (Keluaran 24:8). Dalam hal ini penyunatan menjadi simbol darah yang sangat penting. Maka dalam Perjanjian Baru, darah Kristus menjadi materai Perjanjian Baru (Matius 26:28; 1 Korintus 11:25; cf. Yeremia 31:31-34). Dengan beriman kepada Kristus yang melalui darah-Nya memeteraikan Perjanjian Baru kita dengan Allah maka kita disebut umat Perjanjian Allah (1 Petrus 2:9-10).
Berhubung kita adalah umat Perjanjian Allah maka Kristus memberikan perintah Amanat Agung agar kita mau menjadi saksi-Nya hingga ke ujung bumi ciptaan-Nya (Matius 28:18-20; KPR.1:8). Apa yang perlu kita saksikan? Jawabnya adalah berkat dan rahmat dari God’s Covenant!! Inilah tujuan dari Misi Ilahi itu. Dan, berkat dan rahmat Allah yang terbesar adalah salvation! Apa artinya manusia memiliki semua harta kekayaan di dunia ini kalau jiwanya binasa? (Matius 16:26; Markus 8:36; Lukas 9:25). Oleh karena itu Yesus Kristus mengatakan bahwa carilah Kerajaan Allah terlebih dahulu maka yang lain akan ditambahkan-Nya (Matius 6:33).
Maka membangun Kerajaan Allah adalah tujuan dari misi. Kerajaan Allah dinyatakan melalui Gereja maka Gereja harus menjadi agen untuk membawa suasana Kerajaan Allah itu kepada bangsa-bangsa sebagaimana pernah diamanatkan kepada Nuh, Abraham, Ishak, Yakub, dan bangsa Israel untuk bangsa-bangsa (Yesaya 49:6b-7).

Refleksi
Umat Tuhan adalah umat Perjanjian Allah. Maka umat Tuhan harus ikut terlibat dan bertanggungjawab dalam menyaksikan Allah itu bagi bangsa-bangsa. Itulah sebabnya misi bukanlah suatu fungsi baru atau tugas baru bagi murid-murid Yesus Kristus yang mula-mula (Lukas 24:36-48; Galatia 3:8).




Minggu, 11 April 2010

PATRIAKHAL: Mendiskriminasikan Perempuan?


Sebuah tinjauan dari Perjanjian Lama

oleh: Devi Siskawati
(Mahasiswa semester VIII STT Cipanas, sedang mendalami konsep 'anak manusia' dalam kitab Daniel)

Banyak pandangan atau pendapat yang mengatakan bahwa dalam Perjanjian Lama kedudukan seorang perempuan tidak dianggap penting. Perempuan selalu tidak diperhitungkan keberadaannya. Kedudukan lelaki adalah superior sedangkan perempuan adalah inferior. Hal ini karena pengaruh budaya patriakhal yang dianut oleh bangsa Israel. Budaya patriakhal ini dianut dari bangsa-bangsa di sekitar Israel. Tetapi, yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah: apakah benar budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama dan masyarakat Yahudi mendiskriminasi kaum perempuan? Apakah Perjanjian Lama mengabaikan perempuan? Dalam tulisan ini, penulis hendak mengajak pembaca untuk memberi pemahaman yang baru dan tidak berpandangan naïf terhadap kedudukan perempuan dalam Perjanjian Lama, khususnya menyangkut budaya patriakhal yang menurut pandangan banyak orang mendiskriminasi kaum perempuan. Dalam tulisan ini, penulis juga akan meneliti kebudayaan patriakhal dari bangsa-bangsa di sekitar Israel dan bangsa Israel. Maksud penulis meneliti kebudayaan di luar Israel, karena kebudayaan patriakhal yang ada di Israel merupakan hasil adopsi dari bangsa-bangsa di sekitar Israel.

Budaya Patriakhal dalam Kebudayaan Bangsa-bangsa di Luar Israel.[1]

Mesir
Kata bapa digunakan secara figuratif untuk menggambarkan hal-hal seperti ‘I was father to the child’ dan dia adalah ‘a father to orphans, a husband to widows’. Seorang pejabat harus menjadi “bapa yang baik bagi masyarakat yang dipimpinnya”. Dengan kata lain, makna bapa dalam kebudayaan Mesir adalah sebagai pemelihara atau penjaga anak-anaknya.

Mesopotamia
Sistem kekeluargaan Mesopotamia bersifat patriakhal. Bahasa Akkad menggunakan kata abu (m) untuk kata bapa. Merupakan sebuah tanggung jawab ayah untuk menjadi penopang dan pelindung bagi keluarganya. Kita dapat melihat berbagai gambaran mengenai ayah yang baik di dalam pandangan orang-orang Mesopotamia. Sebagai contoh: “seorang raja sebagai pemimpin bangsa harus memperlakukan hambanya sama seperti seorang ayah memperlakukan anaknya”. Ini memberi gambaran kepada kita bahwa seorang ayah pasti melindungi anaknya.

Agama Semit Barat
Makna bapa adalah sebagai pelindung yang melindungi keluarganya.

Budaya Patriakhal dalam Kebudayaan Israel
Bentuk kemasyarakatan yang digambarkan oleh Alkitab tentang sistem politik Israel adalah sebuah sistem kekeluargaan.[2] Sistem kekeluargaan ini dipelihara dalam bentuk silsilah. Silsilah ini tidak hanya menggambarkan hubungan darah, tetapi juga hubungan ekonomi, status sosial, dan kekuasaan yang mana dapat terlihat di dalam komunitas. Seorang ayah berfungsi untuk melindungi negerinya dan keluarganya. Seorang ayah dalam kebudayaan Israel memiliki kekuasaan untuk: mengadopsi putera atau puteri (seorang anak diakui sebagai anggota suatu kelompok/klan apabila ketika dia lahir, pemimpin klan itu menerimanya, apabila tidak, maka bidan yang membantu proses persalinan mengambilnya dan meletakkannya di tempat terbuka dan mengumumkan bahwa anak ini dapat diadopsi oleh kelompok/klan yang lain), menerima pekerja-pekerja, bernegosiasi mengenai pernikahan dan menentukan ahli waris.[3] Selain itu, seorang ayah juga bertanggung jawab untuk mengatur anak-anaknya dan mengajarkannya tentang kasih Allah (Ul.6:7). Dalam kebudayaann Israel, ayah memiliki peranan yang sangat penting. Ayah adalah kepala rumah tangga, anak-anaknya hormat terhadap dia (Mal.1:6). Dia mengontrol anggota keluarganya yang lain seperti pengrajin mengontrol tanah liatnya (Yes.64:7). Ketika seseorang dipanggil dengan sebutan ayah, sebenarnya hendak menunjukkan otoritasnya. Misalnya saja: Naaman dipanggil dengan sebutan bapa/ayah oleh para hambanya (2 Raj.5:13), Elia dipanggil bapa oleh murid-muridnya (2 Raj 2:12). Para imam dipanggil sebagai bapa oleh komunitas kultus (Hak.18:9).[4]


Dari tulisan ini saya mau mengajak kita untuk melihat sisi positif dari budaya patriakhal itu sendiri. Budaya patriakhal merupakan sarana kasih Allah kepada umat Israel. Kita melihat dari segi tanggung jawab para lelaki yang terdapat dalam Alkitab. Seorang lelaki atau seorang bapa memiliki tanggung jawab yang besar untuk kaum atau klannya. Seperti yang telah dipaparkan di atas bahwa dalam kebudayaan Israel maupun kebudayaan di luar Israel tidak ada maksud untuk mendiskriminasi perempuan. Misalnya saja dalam kebudayaan Mesopotamia: seorang ayah haruslah dapat menjadi penopang dan pelindung bagi keluarganya. Jadi, di mana letak kesalahannya? Yang salah adalah kita yang memiliki pemikiran naïf terhadap budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama. Sekali lagi saya hendak menegaskan bahwa budaya patriakhal dalam Perjanjian Lama tidak mendiskriminasi keberanaan kaum perempuan. Saya tidak menentang kaum feminis, tetapi janganlah kita mendramatisir apa yang dirasakan oleh kkaum perempuan pada waktu itu. Kita dapat melihat dalam Perjanjian Lama, tidak ada perempuan yang komplain akan keberadaannya sebagai perempuan. Hal ini karena kaum lelaki memang melindungi kaum perempuan. Perempuan sangat diperhatikan dalam Perjanjian Lama. Kita dapat melihat bahwa seorang janda pun diperhatikan oleh masyarakat. Buktinya, dapat kita lihat dalam tahunYobel. Selain itu kita juga dapat melihat dalam perkawinan ipar (go’el). Seorang wanita yang telah ditinggal mati oleh suaminya akan dikawinkan dengan iparnya. Kita dapat melihat dalam kasus Rut dan Boas. Perempuan yang telah ditinggal mati oleh suaminya dapat menikah lagi dengan saudara laki-laki dari suaminya. Hal ini bertujuan untuk melindungi perempuan tersebut. Kaum lelaki dan perempuan adalah sama, sama-sama penting dan sama-sama saling membutuhkan. Marilah kita sama-sama saling mengisi dan jangan kita menganggap lebih superior dari yang lainnya.

[1] G. Johannes Botterweck, Helmer Ringgren, Theological Dictionary of The Old Testamen, (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1999), hal 3-5.
[2] Victor.H.Matthews and Don.C Benjamin, Social World of Anceint Israel 1250-587 BCE, (Massachusetts:Hendrickson Publisher), 1993, hal 7-8.
[3] Ibid…hal 8.
[4] G. Johannes Botterweck, Helmer Ringgren, Theological Dictionary of The Old Testamen, (Grand Rapids: William B. Eerdmans Publishing Company, 1999), hal 8-9.