Jumat, 26 Maret 2010

MATA GANTI MATA; GIGI GANTI GIGI; NYAWA GANTI NYAWA

Oleh:
Barnabas Ludji
(Pengajar bidang studi Perjanjian Lama, menyelesaikan studi doktoral di STT Jakarta)

Kata-kata di atas diambil dari potongan ayat yang terdapat dalam Kitab Keluaran (21:23-24; Im 24:19-20; Ul 19:21). Sebagian kata-kata di atas digunakan juga oleh Yesus dalam pemberitaan-Nya (Mat. 5:38). Kelihatannya Yesus tidak lagi berpegang pada hukum-hukum seperti itu. Malahan sebaliknya, Yesus menjungkirbalikkan hukum-hukum tersebut (Mat 5:39). Akan tetapi, Yesus sendiri sebelumnya mengatakan, bahwa Ia sama sekali tidak datang untuk meniadakan, mengurangi atau pun mengubah hukum Taurat dan Kitab Para nabi. Yesus datang untuk menggenapi atau memenuhi tuntutan hukum Taurat (baca Mat 5:17-19). Lebih tegas lagi Yesus mengatakan, bahwa mereka yang meniadakan hukum Taurat sekecil apapun dan mengajarkan hal demikian kepada orang lain, maka ia akan memperoleh kedudukan yang paling rendah dalam Kerajaan Sorga. Sebaliknya, mereka yang mengajarkan Taurat dan melakukannya akan memiliki kedudukan yang tinggi di dalam Kerajaan Sorga (Mat 5:19).

Berdasarkan ucapan Yesus dalam ayat 17-19, 38-39, maka jelas bahwa Ia tidak bermaksud meniadakan hukum-hukum yang terdapat dalam Kel. 21:23-24 dan lain-lainnya. Lalu apa sebenaran yang Yesus maksudkan dengan ucapan-Nya dalam Mat 5:38 dan 39? Kedua ayat itu secara hurufiah memperlihatkan dua hal yang bertolak belakang. Di pihak lain, perbuatan yang mengakibatkan seseorang kehilangan salah satu anggota tubuhnya harus dibalas dengan hal yang sama juga (gigi ganti gigi, mata ganti mata, tangan ganti tangan dst). Di lain pihak, sepertinya Yesus, menentang hukum di atas, yaitu jika salah satu bagian tubuh disakiti, bukan saja tidak dibalas dengan menyakiti si pelaku, melainkan memberi bagian tubuh lain untuk disakiti lagi.

Apakah Yesus memiliki sifat yang mendua terhadap Taurat? Apakah ucapan Yesus itu cukup dipahami seperti itu? Untuk memahami secara substansial makna hukum-hukum seperti yang dikatakan tema di atas, perlu ada usaha yang lebih serius. Mungkin dengan usaha serius, kita bisa memperoleh penjelasan tentang pertanyaan, apakah hukum-hukum seperti itu masih relevan bagi orang percaya sekarang? Apakah ucapan Yesus di atas bermaksud meniadakan hukum taurat? Dan sebagainya.

Ayat-ayat PL yang sejajar di atas tentu saja berasal dari masa yang berbeda-beda, tetapi ketiganya memiliki persamaan dan perbedaan. Persamaan itu bisa menunjukkan bahwa ketiganya bersumber pada suatu hukum yang lebih tua dari mereka, misalnya dari hukum Hamurabi dan memiliki latar belakang nomade (A.D.H. Mayes, The New Century Bible Commentary, Deuteronomy, hlm. 290-291). Kemungkinan teks tertua dari ketiga teks di atas adalah teks Kitab Keluaran (band. Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama 1, hlm.84). Dengan demikian, penulis Kitab Imamat dan Ulangan kemungkinan mengambilnya dari Teks Keluaran. Perbedaan di antara ketiganya menunjukkan pada pengembangan oleh masing-masing penulis sesuai kebutuhan masyarakat pendengarnya.

Dari penjelasan di atas, kita melihat bahwa bentuk praktis dari hukum-hukum Tuhan itu berkembang dan bertambah sesuai kebutuhan. Artinya hukum yang lama bisa berubah-berubah bentuk praktisnya dan tidak kaku. Respon hukum Tuhan terhadap situasi yang dihadapi bisa berbeda-beda, namun prinsip dasar yang mau dipertahankan adalah keadilan yang benar-benar adil.
Pertanyaannya ialah, jika benar hukum-hukum dalam teks-teks di atas bersumber pada hukum-hukum Hamurabi atau kebudayaan Asyur (lihat Mayes, hlm. 291), apakah hukum-hukum tadi sama saja dengan hukum-hukum yang dikenal di antara bangsa-bangsa Timur Tengah lainnya?

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Leon Epzstein dalam bukunya yang berjudul, The Social Justice in The Ancient Near East and The People of The Bible, menjelaskan bahwa keadilan yang dimaksudkan oleh bangsa-bangsa Timur Tengah adalah ketidakadilan, karena adanya sistem kasta dalam masyarakat di sana. Sementara raja dan pembantu-pembantunya berada di atas hukum. Hal ini berhubungan dengan adanya anggapan bahwa raja adalah pemberi hukum dan anak illah secara biologis. Sementara hukum-hukum dalam Alkitab diterima sebagai yang berasal dari Allah. Karena itu, tidak ada seorang pun termasuk raja sekalipun yang berada di atas hukum. Inilah salah satu alasan bahwa keadilan menurut hukum Alkitab adalah keadilan yang sesungguhnya. Alasan lainnya ialah bahwa prinsip dasar keadilan hukum Alkitab adalah keadilan Allah yang berakar pada kebenaran Allah yang bersumber pada anugerah-Nya. Keadilan dan kebenaran memiliki kaitan yang erat dengan anugerah Allah. Itulah sebabnya hukum mata ganti mata, gigi ganti gigi, nyawa ganti nyawa, kaki ganti kaki dan lain-lainnya dilakukan melalui proses dan keputusan hukum yang adil dan benar. Hukum diputuskan tidak berdasarkan kebencian atau pun diskriminasi, karena kedudukan dalam masyarakat. Hukum diputuskan berdasarkan anugerah dan memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan. Nilai anugerah Allah itulah yang memungkinkan keadilan dapat diputuskan seadil-adilnya. Hukuman yang diterima si pelaku kejahatan haruslah benar-benar seimbang dengan apa yang ia lakukan terhadap orang lain.

Dalam Kitab Ulangan hukum-hukum seperti itu berkaitan dengan anugerah Allah yang dibahasakan sebagai kasih Allah. Atas dasar pemahaman yang demikian, maka proses peradilan dan keputusan hukumnya pun berdasarkan kasih Allah. Kasih Allah memandang semua manusia sama di mata hukum; proses dan keputusan hukumnya seadil-adilnya; menghakimi jauh dari rasa benci; jauh dari perasaan belas dendam; jauh dari perlakuan yang diskriminatif; jauh dari keputusan yang memandang bulu dan ketidakadilan.

Hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Imamat juga merupakan bagian dari hukum-hukum yang disebut Hukum Kekudusan. Maknanya sama saja dengan apa yang dikatakan di atas. Kekudusan Allah menjadi dasar. Ketidakadilan dipandang sebagai yang bertentangan dengan kekudusan Allah. Umat yang hidup dalam kekudusan Allah tidak dibenarkan melakukan ketidakadilan. Hukum harus mencerminkan kekudusan Allah.

Haruslah dikatakan bahwa bentuk praktis dari keadilan dalam Alkitab sesuai dengan budaya yang berlaku di sana. Jika prinsip keadilan itu diterapkan di wilayah bukan Timur Tengah Kuno, misalnya di negeri kita, maka hukum-hukum di atas bisa diberlakukan di Indonesia kalau itu sudah menjadi budaya di Indonesia. Tetapi kalau hal itu bukan budaya di Indonesia, maka bentuk proses dan bentuk keadilan yang seadil-adilnya haruslah tetap menjadi prinsip dasar dalam memutuskan sebuah perkara. Tetapi bentuk praktisnya hukuman yang akan dijatuhkan kepada seseorang yang bersalah haruslah setimpal dengan perbuatannya, walaupun bentuk penghukumannya bukan lagi mata ganti mata atau gigi ganti gigi dan lainnya. Misalnya, hukuman penjara sekian tahun dan sebagainya.

Sebanarnya dalam hukum-hukum di Indonesia, masih ada hukum yang mengisyarat kan human - nyawa ganti nyawa. Misalnya, kasus pembunuhan yang direncanakan secara matang dan dilaksanakan sangat keji. Kasus seperti ini bisa dijatuhi hukuman mati berdasarkan undang-undang yang berlaku di Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih memberlakukan hukuman mati. Sementara mayoritas negari sedunia, sudah menolak hukuman mati. Tetapi masih ada hukum yang dianggap masyarakat yang belum mencerminkan keadilan yang seadil-adilnya. Misalnya undang-undang yang mengatur hukuman bagi seorang pemerkosa.

Masalah lain yang masih melilit negeri ini adalah penegakkan hukum yang pilih tembang atau diskriminatif. Orang yang dekat dengan penguasa yang bermasalah terkesan mendapat perlindungan dan tidak disidik. Supermasi hukum di negeri ini pun dipertanyakan banyak orang. Selama ada sikap diskriminatif dalam usaha penegakkan keadilan, maka yang terjadi adalah ketidakadilan. Hukuman mati yang dilakukan pihak penegak hukum tanpa proses peradilan yang benar, termasuk kategori tindakan yang tidak adil. Penembakan mati terhadap seorang buronan tanpa proses peradilan yang benar pun termasuk pada tindakan ketidakadilan.

Dengan demikian jelas bagi kita bahwa hukum-hukum di atas masih sangat relevan untuk dikaji secara serius dalam rangka bermasyarakat dan bernegara, bahkan dalam bergereja. Keadilan Allah merupakan bagian dari anugerah Allah bagi mereka yang mencari keadilan yang sejati.

Prinsip keadilan yang terkandung dalam hukum-hukum mata ganti mata, gigi ganti gigi, kaki ganti kaki, tangan ganti tangan atau pun nyawa ganti nyawa tidak memberi peluang sedikitpun kepada tindakan atau perbuatan main hakim sendiri. Main hakim sendiri jelas dibakar oleh kemarahan dan kembencian yang membara. Kebencian pastilah tidak berasal dari anugerah Allah. Tetapi keadilan yang sejati pasti asalnya dari anugerah Allah. Dalam tindakan main hakim sendiri tidaklah mungkin kita menemukan keadilan yang sejati. Hukum-hukum Allah dalam Alkitab memang kelihatan idealis, tetapi itulah pengharapan manusia pada umumnya, kecuali mereka yang memelihara niat jahat selama hidupnya.

Barangkali ucapan Yesus dalam Matius 5 ayat 38-39, jelas tidak bermaksud meniadakan hukum-hukum di atas dan lain-lainnya, mengingat perkataan Yesus dalam ayat 17-19. Kemungkinan pada masa itu Yesus berhadapan dengan orang-orang yang memberlakukan hukum-hukum di atas secara hurufiah dan didorong oleh kebencian tanpa proses peradilan yang benar. Ketika Yesus mengucapkan kata-kata yang kontradiksi dengan hukum-hukum di atas, kemungkinan Yesus mau mengembalikan prinsip yang esensial dari hukum-hukum itu, yaitu anugerah Allah. Mungkin hal ini boleh dikaitkan dengan firman Tuhan yang mengatakan kejahatan janganlah dibalas dengan kejahatan. Kata-kata seperti itu tidak bermaksud meniadakan proses peradilan dan penegakan hukum. Masalahnya ialah, kalau kejahatan dibalas dengan kejahatan, maka pembalas kejahatan sama jahatnya dengan pelaku kejahatan itu. Silahkan mengomentari dan memberi masukan agar semakin tajam dan luas.

Salam citijam...