Kamis, 25 Februari 2010

KONSEP PERCERAIAN DALAM PL


Oleh: Sugiman

(mahasiswa sem. VIII STTC)


Dalam teks-teks Perjanjian Lama masalah perceraian hampir tidak ditemukan atau disinggung. Seakan-akan hal itu diabaikan dalam Perjanjian Lama atau teks-teks Perjanjian Lama seolah-olah sengaja menghindari dan tidak ingin membahasnya karena didukung beberapa tradisi dan budaya Timur Tengah Kuno saat itu. Jika demikian apakah Perjanjian Lama setuju (memperbolehkan) perceraian? Karena saat ini perceraian adalah masalah yang serius. Oleh sebab itu dalam paper ini akan membahas dan menyoroti dari sudut etika Perjanjian Lama tentang “perceraian”, khususnya dalam kitab Ulangan 24:1-4; Ezra 9-10; Yesaya 50:1; Yeremia 3:8 dan Maleaki 2:10-16 yang membahas mengenai perceraian.

Terminologi
Dalam bahasa Ibrani kata yang diterjemahkan dengan “perceraian” adalah dari kata “keritut
[1]”.: “perceraian”. Dalam bahasa Akkad berasal dari kata kerja “karatu” artinya “to cut off” dan bentuk kata kerja sifatnya: “kartu” artinya “cut up”, yang berpadanan dengan kata “to bring to an end”. Arti lain adalah “to cut down” (1 Raj. 5:20). Kata-kata itu tidak hanya berhenti disitu, tetapi lebih dalam lagi yaitu berkaitan dengan “perjanjian” dan inilah yang lebih penting.[2] Kata keritut hanya muncul empat kali dalam Perjanjian Lama, yaitu Ulangan 24:1, 3; Yesaya 50:1 dan Yer. 3:8.

Dalam LXX diterjemahkan: “apostasio”[3]; KJV: divorcement; RSV: divorce. Penggunaan kata ini menunjuk pada sebuah ikatan resmi (sah) yang kemudian diakhiri aau diputuskan dengan berbagai alasan kongkrit maupun absrak kerena sudah bosan aau idak suka lagi. Kata di atas juga diterjemahkan dengan “perceraian” yang sah karena diserati adanya surat cerai sebagai persyaratan resmi[4] dan surat cerai adalah sebagai bukti bahwa ia boleh menikah (kawin) lagi dengan wanita lain. Selain dengan surat cerai sebagai bukti, juga ada dengan cara yang diumumkan di depan umum khususnya bagi laki-laki yang melakukan pernikahan kontrak di suatu daerah, negara aau bangsa lain[5]. Inilah yang terjadi pada bangsa-bangsa non-Israel, sedangkan di dalam komunitas Israel sendiri seorang suami tidak bisa sembarang atau semaunya menceraikan isterinya dengan tanpa alasan atau bukti-bukti yang mendukung kuat. Namun sediki banyak pengaruh dari bangsa-bangsa sekitar juga masuk. Unuk itu diterapkanlah perceraian yang bersyarat, yaitu harus membuat surat cerai. Tujuannya adalah untuk mengindari tindakan-tindakan yang mempermudah perceraian itu sendiri.

Dengan demikian, setiap laki-laki atau suami diharapkan tidak mengambil tindakan-tindakan yang fleksibel untuk menceraikan isterinya. Di lain sisi perceraian itu diperbolehkan, tapi dengan syarat bahwa suami mendapati isterinya berbuat berzinah dengan laki-laki lain, maka ia harus menceraikannya karena dianggap najis. Tetapi jika perempuan yang mendapati suaminya adalah tidak menjadi masalah, karena kendali dipegang oleh laki-laki. Artinya, dalam PL atau dalam hukum Yahudi seorang perempuan tidak berhak untuk menceraikan suaminya, kecuali sejumlah kasus seperti impotensi atau tidak diasuh oleh suaminya. Namun secara umum hanya suami yang berhak menceraikan isterinya[6]. Mengapa? karena kedudukan perempuan dianggap rendah dari laki-laki. William Barclay, mengatakan, bahwa “Dalam kebudayaan Yahudi wanita tidak dianggap sebagai pribadi, melainkan sebagai sebuah barang”.[7] Rabi Josc ben Johanan mengutip sebuah perkataan bahwa “seorang rabi yang keras tidak pernah memberi salam kepada wanita, bahkan kepada isteri dan saudara-saudaranya yang perempuan”. Senada dengan itu, Rabi Eliezer mengatakan “Jika seseorang memberikan pengetahuan tentang Hukum kepada puterinya, itu bisa dipandang sebagai mengajarkan hal-hal yang tidak senonoh kepadanya” (Misnah, Sotah 3:4). Selanjutnya menurut Jewish Encyclopedia kedudukan wanita Yahudi tidak banyak berbeda dengan kedudukan wanita di antara bangsa-bangsa kuno lainnya: “Wanita dianggap kurang begitu berharga dibanding pria”[8]. Kedudukan wanita sangat rendah.

Perceraian dalam Budaya Timur Tengah Kuno.
Kita telah melihat, bahwa di satu sisi perceraian itu harus bersyarat, tetapi disisi lain perceraian diperbolehkan. Yang menjadi peranyaan adalah mengapa? untuk itu sangat penting dan perlu diketahui kebudayaan saat itu. Dalam struktur sosial masyarakat kuno di Timur Tengah perlindungan terhadap kaum perempuan adalah sangat kurang atau bisa dikatakan bagaikan sebuah barang, mungkin ini cocok dengan sebuah ungkapan “habis manis sempah dibuang”. Menurut para ahli: “perceraian” bukanlah masalah di Timur Tengah Kuno, karena hal itu adalah normal (sudah lazim di sana). Sehingga tidak menutup kemungkinan juga bahwa hal ini juga terjadi dalam komunitas umat Israel. Jika seorang suami telah bosan atau benci melihat isterinya, maka sang isteri harus siap sedia untuk diceraikan dan kapan saja suaminya mau
[9]. Beberapa ahli mengatakan “If a husband tired of his wife, it was not difficult to have her banished form the home and there was little by way of redress”[10], bnd. dengan The Interpreter’s Bible-Vol. 2 mencatat: “divorce was on easy matter for the husband in the semitic world”[11]. Terutama hal ini banyak terjadi ketika masa peperangan,[12] banyak suami yang menceraikan isterinya kemudian melakukan kawin kontrak dengan perempuan-perempuan tawanan. Tetapi meskipun demikian peraturan yang ada di Israel, Mesopotamia dan Elephantine memiliki kesamaan, yaitu seorang suami harus membuat surat cerai supaya perceraian tersebut benar-benar sah dan adil (bnd. Ian Cairns, 1992 : 210-211).

Ulangan 24:1-4
Hukum-hukum yang ada dalam kitab ini adalah hukum-hukum yang berasal dari sumber D yang tulis kira-kira tahun 622/621 atau pada abad ke 7 sM
[13]. Penulis Deuteronomis berusaha menampilkan bangsa Israel sebagai bangsa yang unik dan berbeda dari bangsa-bangsa sekitarnya. Dengan demikian kita memahami bahwa hukum-hukum ini mencakup seluruh aspek peribadatan umat Israel kepada Yahwe dan untuk mengatur struktur sosial dalam komunitas umat pilihan itu sendiri.[14] Selanjutnya penulis Deuteronomis sangat menekankan perlindungan terhadap perempuan (protecting women) atau “legislation concerning marriage, divorce and remarriage”.G. von Rad menyebutnya dengan istilah “parenesis” (berisi nasihat-nasihat).[15] Namun bagaimana pun juga masalah perceraian tidak dapat disangkal sebagai kebiasaan yang sangat sulit untuk dilepaskan begitu saja. Ayat 1-3 diawali dengan kata “ki”, artinya “jika” atau “apabila”, ini memperlihatkan bahwa penulis D secara hati-hati dalam mengungkapkan kasus “perceraian”. Dan ay.4 menjadi penegasan dari ay.1-3. Dari hukum ini kita dapat menduga bahwa seorang suami sering menceraikan isterinya ketika ia tidak cinta, tidak menyukainya atau sudah bosan melihatnya. Oleh sebab itu kebiasaan seperti ini harus dihentikan untuk melindungi nasip perempuan di dalam komunitas umat Israel. Raymond menyebutkan, paling sedikit ada tiga tujuan penting yang mau di ditekankan oleh penulis Deuteronomis, yaitu: pertama, hukum itu berfungsi untuk mencegah terjadinya perceraian dalam umat Israel. Kedua, untuk melindungi kaum perempuan dan yang ketiga, untuk memelihara pernikahan itu sendiri. Dengan kata lain bahwa mungkin hukum ini adalah hasil dari penyusunan kembali dari hukum-hukum perkawinan yang sudah ada saat itu.

Dari uraian di atas memperlihatkan bahwa penulis Deuteronomis sangat menolak terjadinya perceraian di kalangan Umat Israel. Paling tidak ada dua alasan mengapa perceraian itu dilarang[16], pertama: adanya tuduhan palsu seseorang kepada isterinya, yaitu mengatakan isterinya sudah melakukan persetubuhan sebelum mereka menikah (Ul. 22:13-19). Yang kedua: seorang laki-laki yang bersetubuh dengan perempuan perawan harus bertanggung jawab dengan perbuatannya (Ul. 22:28-29; Kel. 22:16-17). Sekilas pandang sepertinya Ul. 24:1-4 mengizinkan perceraian, tetapi jika diperhatikan dengan cermat dan teliti, maka ayat ini sebenarnya ingin membantah adanya perceraian terutama di kalangan umat Israel itu sendiri. Penulis Deuteronomis juga ingin memperlihatkan bahwa terjadinya perceraian karena tindakan yang tidak senonoh[17] dan itu tidak memuliakan Dia. Namun tidak berarti hal itu diizinkan. Paul R. House mengatakan: “Jesus comments reflect Moses concern for fidelity and strong marriges as the foundation for a holy community”.[18] Memang dalam keadaan yang ekstrim atau dalam kasus-kasus tertentu perceraian disetujui, misalnya dalam kitab Ezra-Nehemia. Karena saat itu terjadi perkawinan campur yang mengakibatkan kemerosotan iman, moral umat Israel dihadapan Allah. Tetapi tetap saja bahwa hal itu merupakan penyimpangan dari maksud aslinya dan ideal ilahi (tujuan utama Allah) yang memanggil dan memilih Israel sebagai kepunyaan-Nya. Selain itu, perceraian juga adalah pelanggaran terhadap janji Allah atau suatu tindakan penghianatan seperti yang dikatakan dalam Maliaki 2:16 “Dibenci-Nya”. Jika demikian, lalu bagaimana dengan kesaksian penulis Injil Matius dan Lukas yang mencatat bahwa “Musa mengizinkan perceraian karena ketegaran hati bangsa Israel itu sendiri” (Mat. 19:8 dan Mark. 10:5). Maksud dari penulis Injil itu bukan untuk membingungkan, melainkan ingin memberi penjelasan bahwa Musa menerima perceraian sebagai fakta yang tidak terhindarkan dari kehidupan umat Israel. Artinya ada kondisi khusus yang mana perceraian harus terjadi/ tidak dapat dihindari.[19] Oleh sebab itu, Ul. 24:1-4 bisa di pandang sebagai hukum yang mengatur kehidupan nyata supaya Israel hidup sesuai dengan maksud dan tujuan Allah[20]. Artinya perceraian tidak hanya tindakan pengabaian atau tindakan penghianatan terhadap janji-janji Allah, tetapi juga tindakan pencemaran akan kekudusan Allah. Karena perceraian tidak terdaftar dalam rencana Allah.

Kitab Ezra 9-10-Nehemia
Barnabas Ludji mengatakan, bahwa mengenai kepenulisan kitab Ezra-Nehemia sangat sulit ditentukan, karena banyak pendapat yang berbeda-beda di kalangan para ahli (Barnabas Ludji, Pemahaman Dasar Perjanjian Lama Vol. 1 (Jakarta: Bina Media Informasi, 2009:184-185; bnd. Weiden, 83-85). Namun dilihat dari hubungannya yang kuat antara kitab Ezra-Nehemia dengan kitab Tawarikh, maka kedua kitab itu, yaitu Ezra dan Nehemia ditulis oleh para Muwarikh/ Pentawarikh/ Khronist/ Priest sekitar tahun 400 sM. Karena peristiwa terakhir yang disinggung dalam kita Nehemia adalah perjalanannya ke Yerusalem untuk yang kedua kalinya kira-kira tahun 433 sM, tahun ke-23 pada masa pemerintahan Artaxerxes I yang memerintah pada tahun 465-423 sM (lht. Otto Kaiser, 1973 : 183-184). Menurut 1 Tawarikh 3:19-24 itu sesudah Zerubabel terdapat dalam nama lima generasi.

Pada masa itu kekuasaan Babel tidak sekuat pada masa sebelumnya, sehingga bangsa Israel menaruh harapan kepada Koresy, raja Persia (Yes 45:1). Artinya kerajaan Persia mulai bangkit dan menjadi bangsa yang kuat. Maka Persia bergabung bersama bangsa Madai kemudian menghancurkan bangsa Babel. Ketika raja Koresy berkuasa atas kerajaan Babel, ia juga mengeluarkan dekrit yang berisikan pengizinan orang Israel kembali ke tanah airnya di Yerusalem. Tidak hanya diizinkan pulang, tetapi bersamaan dengan itu Yerusalem yang telah hancur thun 587 sM dan tinggal puing-puingnya juga akan dibangun kembali, terutama Bait Allah yang diyakini sebagai tempat kehadiran Allah (Ezr 6:5). Harta-harta Bait Allah yang diangkut ke Babel oleh raja Babel dibawa kembali ke Yerusalem. Kelompok pertama yang kembali ke Yerusalem adalah kelompok yang dipimpin oleh Zerubabel, yang berasal dari keturunan Daud (1 Tawarikh 17; Ezra 3:2). Meskipun banyak hanbatan dalam proses pembangunan Bait Allah, terutama dari Sanbalat, gubernur Samaria. Selain itu juga ada hambatan dari pihak Tobia, orang Amon. Tujuan dari pembangunan ini adalah supaya mereka beribadah kepada Allah dan meninggalkan berhala-berhala yang menyebabkan mereka mengalami kemerosotan iman, termasuk diantaranya adalah kawin campur. Artinya isteri-isteri yang berasal dari bangsa-bangsa lain harus diceraikan harus diceraikan, supaya tidak terjadi kemerosotan iman lagi (Ezra 9-10), kemudian Perjanjian Sinai diperbaharui.

Ezra 9-10
Kita akan melihat dua ayat yang mewakili pembahasan Ezra 9-10 yang membahas mengenai kawin campur, yaitu orang Israel dengan bangsa-bangsa sekitar atau perempuan-perempuan asing. Ternyata perkawinan campur ini menyebabkan kemerosotan iman umat Israel kepada Allah, maka imam Esra menyuruh menceraikan semua isteri-isteri yang berasal dari negara asing. Maka dalam kitab Ezra perceraian diizinkan, khususnya perempuan-perempuan asing karena menyebabkan kemerosotan iman, akhlak di dalam komunitas umat Allah. Pertama, Ezra 9:14 menyatakan bahwa “Jika kami kembali memutuskan perintah-Mu (berhenti melakukan perintahmu) dan megawini mertua laki-laki bangsa-bangsa yang keji (kotor/ najis) tidakkah Engkau murka terhadap kami?”. Perhatikan kalimat “hanasub lehaper miswoteyka ulehithatten bearnrne haelleh “. LAI menterjemahkan “masakan kami kembali melanggar perintah-Mu dan kawin-mengawin dengan bangsa-bangsa yang keji ini?”. Maka menurut saya LAI kurang tepat. perhatikan kata “hanasub” : ”Jika kami kembali”, artinya umat Israel sudah pernah melakukan perkawinan campur ini terutama ketika pertama memasuki tanah Kanaan. Kemudian “lehaper miswoteyka” terj. harafiahnya adalah : “merusak, memutuskan atau berhenti melakukan perintah-Mu. LAI: “melanggar” kurang kuat dibandingkan dengan terj. “berhenti melakukan atau memutuskan perintah-Mu”. Kalimat “dan mengawini mertua laki-laki bangsa-bangsa yang keji tidakkah Engkau murka terhadap kami?” memperlihatkan, bahwa bagi imam Ezra “menikah dengan bangsa-bangsa asing adalah kekejian bagi Allah dan mendatangkan murka-Nya. Mengapa? karena tindakan tersebut tidak melakukan perintahnya atau berhenti melakukan perintah-Nya. Maka dari itu kitab Ezra mengijinkan perceraian atau disahkan saat itu atau diperbolehkan jika perempuan itu membuat mereka jauh dari Tuhan. Dengan kata lain perceraian dibenarkan pada konteks saat itu. Kedua, dalam Ezra 10:10 memberitahukan bahwa kawin dengan bangsa-bangsa asing itu adalah sama dengan “ketidaksetiaan” dan menambah “kesalahan” kepada perintah Tuhan. Kata yang diterjemahkan dengan “kesalahan” adalah “ashmah”, yang bisa diterjemahkan juga dengan “wrongdoing” dan “guiltiness” yang artinya tindakan yang salah, atau “pelanggaran” dan “kesalahan”. Maka jelaslah, bahwa menurut kitab Ezra perceraian harus dilakukan karena itu adalah tindakan yang melanggar perintah Tuhan, mengapa melanggar? Karena akibat perkawinan dengan perempuan asing umat israel semakin jauh dari Tuhan dan tidak lagi melakukan kehendak-Nya atau perintah-Nya. Artinya, tindakan itu juga adalah penghianatan terhadap Tuhan atau ketidaksetiaan kepada perintah Tuhan. (bnd. Cliens, The New Century Bible Commentary, Ezra, Nehemiah, Esther (Marshall, Morgan & Scott Publ. LTD. London: Wm. B. Eermans, 1992 :118-134)

Kitab Yesaya 50:1
Ayat ini ingin mengatakan bahwa persekutuan Yahwe dengan umat-Nya disamakan dengan persekutuan dalam pernikahan, yaitu umat Israel digambarkan sebagai “isteri” dan Yahwe adalah suaminya. Artinya ungkapan ini adalah ungkapan metapora penulis Deutero-Yesaya (liht. John D.W. Watts, Word Biblical Commentary-Isaiah 34-66-Vol. 25 (USA: Work Books, Publisher. Waco, Texas, 1987) 193; Alec Motyer, dalam bukunya The Prophecy Of Isaiah-An Introducation & Commentary (USA: InterVersity Press 1993) 397 mengatakan bahwa ayat ini tidak ada kaitannya dengan masalah keluarga melainkan antara Yahwe dan Israel. Dalam Yes. 40:27 mencatat keluhan umat Israel terhadap Yahwe: “hakku tidak diperhatikan oleh Allahku”, termasuk hak sebagai “isteri”; bndYer.14:19. Maka atas tuduhan itu Yahwe membela diri dan bertanya kepada umat-Nya Israel KJV menterjemahkan "Where is your mother's bill of divorce, with which I put her away? LAI: “Di manakah surat cerai ibumu tanda Aku Telah mengusir dia”?, pengusiran pasti berkaitan dengan tempat dan terj. RSV memperlihatkan bahwa tempat itu sangat jauh, perhatikan! "Where is your mother's bill of divorce, with which I put her away”? terj. BGT memperlihatkan bahwa pengusiran itu bukan bersifat sementara tapi seterusnya jika tidak ada pertobatan. Perhatikan kata yang digunakan: ”ezapesteila” (Yun): to send forth, yaitu bentuk verb indicative aorist active 1st person singular from “ezapostello”: “send out, send away”. Yang menarik adalah penggunaan kata “ezapostello”, yaitu di satu sisi erat kaitannya dengan “pengusiran” dengan tangan hampa. Tapi di sisi lain kata ini juga berkaitan dengan pengutusan rasul Paulus, pengutusan Yesus sebagi Anak Tunggal Bapa, pengutusan Roh Kudus pada hari Pentakosta (lht.
Luk 1:53; 24:49 v.l.; Kis 7:12; 17:14; 22:21; Gal 4:4, 6). Dalam undang-undang perkawinan, “perceraian” itu sah (berlaku) ketika si isteri sudah diberi atau mendapatkan surat cerai. Artinya jika surat cerai itu belum atau tidak ada maka perkawinan itu tetap sah (bnd. Ul. 24:1-4). Dalam bagian ini juga ingin menegaskan bahwa Allah tidak pernah menceraikan umat-Nya, tetapi karena kesalahan merekalah mereka dibuang ke negeri Babel. Horst D. Preuss dalam bukunya Theology Of The Old Testament-Vol.2, (1996: 152) menyebut pembuangan umat Israel ke Babel dengan istilah kematian, sedangkan pemulihan adalah kebangkitan. Namun sekalipun Israel diusir karena kesalahannya, tapi Allah tetap mengasihi dan akan mengembalikan mereka ke tempat asalnya. Deutero-Yesaya berusaha meyakinkan mereka yang telah berputus asa supaya tetap memiliki pengharapan bahwa Allah akan menolong mereka. (lht. Yes.41:17-20; 42:24; 43; 26-27; 54:7); bnd. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1996) 112-113; Marie-Claire Barth, Tafsiran Alkitab-Kitab Nabi Yesaya 40-55 (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1983) 268-269; bnd. C. Groenen OFM, Pengantar Ke Dalam Perjanjian Lama, (Edisi Baru,Yoyakarta: Kanisius, 2005) 251-253.

Yesaya 50:1 adalah bagian dari Deutero-Yesaya (Yesaya kedua), yang berisi mengenai penghiburan-penghiburan kepada umat Israel yang telah dibuang di Babel tahun 597-538 / 587-539 sM. Sehingga tidak heran jika kitab ini sering disebut sebagai kitab penghiburan.[21] Mereka berpikir bahwa Yahwe telah dikalahkan oleh dewa-dewa sembahan orang Babel. Waktu masih di Yerusalem mereka digambarkan sebagai “isteri” Yahwe namun kini mereka diceraikan dan diusir ke tempat yang sangat jauh. Situasi pembuangan di Babel sungguh sangat berbeda dengan situasi waktu mereka masih tinggal di negeri sendiri (Yerusalem). Dalam hal inilah penulis Deutero-Yesaya berusaha menghiburkan umat Israel yang telah putus asa (tidak punya harapan lagi). Yerusalem tempat kehadiran Allah telah hancur dan itu menandakan bahwa Yahwe telah kalah. Tetapi Deutero-Yesaya memberi kesaksian yang sangat kontras, yaitu Yahwe tidak kalah, Dia tetap Allah Yang Maha-Kuasa, Khalik langit dan bumi, Dia adalah Allah yang hadir secara aktif. Oleh sebab itu itu, Yahwe menanyakan "Where is your mother's bill of divorce, with which I put her away?”. Frasa ini menunjukan bahwa Yahwe idak pernah menceraikan atau mengusir umat-Nya ke tempat yang sanga jauh, tetapi itu semua karena dosa dan ketidaktaatan mereka.

Penulis Deutero-Yesaya menggunakan kata “keritut” : ”perceraian” untuk menggambarkan keadaan Israel di pembuangan seperti seorang isteri yang diceraikan suaminya. Di lain sisi juga umat merasa bahwa Yahwe telah menceraikan mereka sehingga mereka seakan-akan tidak punya harapan lagi untuk kembali, karena telah diceraikan dengan sah. Dibuang ke negeri Babel berarti diceraikan, diputuskan, dihentikan, diusir atau ditelantarkan atau dikeluarkan dari rumah tanangga Allah. Demikianlah pemahaman mereka di negeri asing itu. Situasi pembuangan sangat berbeda dengan situasi waktu masih di Yerusalem. Di negeri Babel seperti tidak ada sumber kehidupan dan pengharapan bagi umat Israel untuk bertahan hidup. Artinya pembuangan tidak hanya seperti diceraikan, tetapi juga dipahami sebagai kematian (Host D. Preuss, 1996:152). Namun Deutero-Yesaya yakin bahwa Allah tidak pernah menceraikan mereka, tetapi pembuangan itu karena dosa yang mereka perbuat kepada Allah. Maka kalau mereka berbalik Allah akan menyelamatkan atau memulihkan mereka kembali, sedangkan Babel akan jatuh ke tangan Persia. Karena semakin hari Babel semakin lemah dan kerajaan Persia menjadi bangsa yang kuat, dan Koresy sebagai rajanya, dan kekuatan yang besar itu menjadi ancaman bagi Babel. Maka melalui kekuatan Persia Allah akan menyelamatkan umat-Nya, mereka akan menjadi Mesias yang dipakai Allah untuk membebaskan umat-Nya. Peristiwa janji pemulihan menandakan bahwa Allah tidak pernah menceraikan umat-Nya. Jadi kata “keritut”: “perceraian” juga bisa disebut sebagai “keterpisahan Israel dari Allah”.

Yeremia 3:8
Mengenai ayat ini para ahli penafsir sepertinya mengalami kesulitan dalam menterjemahkan kata “waere”. Analisis: “we” particle conjunction “raah” verb qal waw consec imperfect 1st person common singular. J.A. Thompson mengikuti terjemahan RSV, MT, yaitu “She saw”; Robert M. Paterson menterjemahkan “aku melihat”; LAI mengikuti beberapa salinan LXX, yaitu “dilihatnya”; BGT: “kai eidon”; KJV: “and I saw”; NIV: “I gave”. Dari semua terjemahan di atas menurut saya kurang tepat, karena jika kita melihat secara linguist (bahasa) kata “waere” bentuk orang pertama tunggal kemudian diawali dengan penghubung dan. Awalan dan bagi ayat ini sangat penting karena menghubungkan ayat ayat 8 dengan ayat yang ada di atasnya. Maka saya mengusulkan terjemahan : “dan aku melihat”. Kalimat ini memperlihatkan sifat Yehuda adalah tidak mau belajar dari kesalahan. Ia telah melihat sendiri mengenai kejatuhan Israel Selatan dan penduduknya diangkut ke Asyur karena tidak mau berbalik kepada Allah. tapi Yehuda tetap bekerja sama dengan Asyur dan bahkan rajanya Ahaz yang memerintah di Yehuda saat itu mendirikan mezbah dewa-dewa asing di Yerusalem untuk disembah bersama rakyat (2 Raj. 16:10). Selain itu juga, Ahaz rajanya itu mempersembahkan anaknya sendiri kepada dewa molokh (2 Raj. 16:3). Molohk adalah dewa sembahan bani Amon (1 Raj. 11:7; 2 Raj. 23:10; Yer. 32:35; Im. 18:21; 20:2-5), dewa ini dipercayai sebagai penolong saat mengalami krisis, Mesa raja Moab juga pernah mempersembahkan anaknya kepada Molokh (liht. Weiden, 2000: 51; bnd. Vriezen, 2006: 236-237).

Yeremia mulai pelayanan pada masa pemerintahan Yosia (626 sM.) menjelang pembuangan ke Babilonia dan berlanjut hingga masa pemerintahan Yoyakim, Yoyakin, dan Zedekia. Ia menubuatkan bahwa Yehuda akan dibuang dan Bait Allah akan dihancurkan karena umat Israel tidak setia lagi kepada Allah dan mereka hidup bersinkretisme dengan dewa-dewa Asyur (lht. Blommendaal, 1996: 116-117). Memang jika kita melihat pada masa pemerintahan Yosia, situasinya relatif aman, namun pada masa sesudahnya yaitu pada masa Yoyakim, Yoyakhin, dan Zedekia situasi menjadi krusial[22]. Sekursial apa? Dapat dilihat dalam dua sisi yang memperlihatkan dengan jelas bahwa Yehuda dalam keadaan terjepit: yang pertama secara internal Yehuda mengalami kebobrokan dan kemerosotan iman yang sangat parah, sehingga kecaman itu dengan tajam dikemukakan oleh Yeremia bahwa Allah akan membuang umat-Nya. Yang kedua adalah secara eksternal Yehuda berada dalam situasi politik internasional yang sangat mencekam. Babilonia dan Mesir adalah dua kerajaan besar yang saling bertikai dan memperebutkan kekuasaan dengan daerah-daerah sekitarnya tarmasuk di dalamnya ada Yehuda.[23] Dalam tesisnya Elisamark mengatakan bahwa dalam keadaan yang demikian Yehuda berada pada posisi “buah simalakama”.[24] Pada masa pemerintahan Yoyakim Yehuda berpihak atau bekerja sama dengan Mesir, sehingga hal itu menjadi pemicu kemarahan kerajaan Babel. Maka Babel melancarkan serangan pertama atas Yehuda dan dalam keadaan yang demikian Yoyakim meninggal dunia. Kemudian digantikan oleh anaknya Yoyakhin, tetapi ia menyerahkan diri sehingga dibawa ke Babel sebagai tawanan dengan rajanya Nebukadnezar. Keadaan semakin parah atau memuncak pada masa pemerintahan Zedekia[25]. Kebohongan atau kepalsuan yang dilakukan umat Israel dalam ibadah membuat Allah murka dan akan membuang mereka karena tidak setia pada perjanjian dan tidak mau bertobat kepada Allah.[26]
Jika kita melihat ayat sebelumnya, yaitu ayat 1-5 Yehuda digambarkan lebih jahat dari perempuan yang diceraikan karena perbuatannya yang tidak senonoh, dan Yehuda tidak mau belajar dari hukum-hukum Allah yang dinyatakan dalam bentuk kekeringan tanah dan bencana-bencana alam lainnya. Dalam ayat 6-11 kelakuan Yehuda tidak bermoral dan lebih parah (meningkat) dari kelakuan Israel Utara. Yehuda tidak mau belajar dari pengalaman Israel Utara yang telah dibuang ke Asyur tahun 722 sM.[27] malahan tunduk kepada Asyur dan menyembah dewa-dewanya. Yehuda mengalami krisis yang sangat parah, yaitu kemerosotan iman akibat bersinkretisme dan terlibat dalam politik Internasional. Dalam keadaan demikian Yeremia mengambil bagian untuk mengadakan pembaharuan di bidang agama[28] dan tampil sebagai nabi pada masa pemerintahan raja Yosia. Tetapi ia dibenci oleh bangsanya, terutama oleh Yoyakim. Kemudian nubuatnya dituliskan oleh Barukh dan dibacakan kembali. Tetapi Yoyakim marah dan membakar seluruh semua gulungan nubuat itu. Serangan yang dilancarkan oleh Babel menjadi ancaman bagi Yehuda. Kekuatan Asyur dan Mesir yang diandalkan ternyata dikalahkan oleh Babel. Sehingga berbagai penderitaan pun semakin memuncak dan para negarawan, hartawan, ilmuwan, tukang-tukang dan orang pintar lainnya diangkut ke Babel tahun 597 sM. itulah pembuangan pertama. Tetapi kejadian itu belum benar-benar puncaknya karena Yerusalem belum hancur karena Zedekia diangkat oleh Nebukadnezar untuk memerintah atas Yehuda dan ia pro-Babel. Namun ketika Zedekia berusaha meloloskan diri, tetapi ia tertangkap dan semua anaknya dibunuh, ia sendiri dibutakan dan diangkut ke Babel dan Yerusalem dihancurkan, dibakar habis dan disama ratakan dengan tanah tahun 587 sM. itulah pembuangan kedua.

Dari keterangan diatas memperlihatkan dengan jelas bahwa masyarakat Yehuda merasa bahwa Yahwe telah pergi meninggalkan mereka atau “diceraikan olah Yahwe” dan mereka seakan-akan dibiarkan dalam keadaan sangat menderita. Yerusalem yang diyakini sebagai tempat kehadiran Allah, karena di sanalah Dia bertakhta. Tapi kini dihancurkan, dibakar dan bahkan disama ratakan dengan tanah. Dalam keadaan demikian mereka mempertanyakan di mana Yahwe saat itu. Sehingga tidak heran ada yang berpikir bahwa Yahwe telah dikalahkan oleh dewa-dewa Babel. Mereka berpikir Allah telah menceraikan mereka, tetapi Allah tidak pernah menceraikan mereka, melainkan semua itu terjadi karena ketidaktaatan mereka.

Kitab Maleaki 2:10-15
Maleaki adalah nabi yang tampil setelah Bait Allah selesai dibangun sesudah pembuangan di Babel atau sesudah tahun 518 sM, namun ia bertindak sebelum Ezra dan Nehemia, yaitu sebelum tahun 450 sM di Yerusalam (Blommendaal, 1996, hal 143). Jika kita perhatikan pada masa Maleaki, perkawinan campur merupakan persoalan besar yang terjadi di kalangan Umat Israel, sehingga terjadi kemerosotan iman. Banyak parempuan yang diceraikan oleh suaminya supaya bisa kawin lagi dengan perempuan-perempuan asing, yang dengannya juga mereka beribadah kepada dewa-dewinya. Karena ketika umat Israel yang menikah dengan perempuan asing, mereka juga sekaligus mempraktikkan agama isteri-iaseri asnig itu. Sehingga hal inilah yang menyebabkan nabi mengecam tindakan yang dilakukan oleh umat, karena sesungguhnya Allah membenci “perceraian” yang dilakukan mereka. Menikah dengan perempuan asing otomatis warisan nenek moyang Israel juga berpindah tangan. Tanah yang diwariskan adalah pengenapan perjanjian Allah kepada umat-Nya Israel, maka tindakan ini sama dengan penghianatan terhadap perjanjian Allah. (Baca G. Von Rad, The Old Testament Library-Deuteronomy-A Commentary (London: SCM Press LDT, 1966 : 150). Ternyata perceraian menurut nabi Maleaki penghianatan atas perjanjian Allak kepada umat-Nya Israel. (bnd. John Stott, Isu-Isu Global-Menantang Kepemimpinan Kristiani-Penilaian Atas Masal sosial dan Moral Kontemporer (terj. G.M.A. Nainggolan), (Jakarta: Yayasan Bina Kasih/OMF, 1994), hal 370, 376-377.

Ayat 10-12
Ayat 10 mengawali perikop ini dengan frasa “satu bapa”. Jones mengatakan bahwa kata “bapa” menunjuk kepada Abraham dan nenek moyang umat Israel yang lainnya. Selanjutnya dilanjutkan dengan frasa “satu Allah”. Ini ingin menunjukan bahwa baik Abraham dan nenek moyang mereka yang lain itu setia kepada Allah. Namun mengapa sekarang mereka tidak setia, dan malah menjadi penghianat. Nabi Maleaki melihat tindakan penghianatan yang dilakukan Israel itu adalah bukti bahwa mereka menyangkal Allah yang menciptakan manusia. Penghiananat itu dilanjutkan pada ayat 11 yang mengatakan perbuatan itu adalah kekejian. Dalam bahasa Ibraninya adalah “weto’ebah”, RSV menterjemahkan “Abomination”. Kata ini berkaitan erat dengan perbuatan-perbuatan atau barang-barang yang dibenci oleh Allah, misalnya berhala-berhala, pelanggaran etis seperti perkawinan campur itu sendiri. Kemudian ditutup dengan ayat 12, bahwa yang berbuat demikian harus dilenyapkan dari komunitas. (baca Pieter A. Verhoef, The New International Commentary On The Old Testament, The Books Of Haggai And Maleachi (Grand Rapids, Michigan: Wm.B. Eerdmans Publishing Company), 1988 : 262; bnd Robert M. Paterson, Tafsiran Alkitab, Kitab Nabi Maleaki (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985 : 38-42.)

Ayat 13-16
Bagian ini dimulai dengan perbuatan ibadah yang dilakukan umat Israel, namun hatinya tidak tertuju kepada Allah, dikatakan “kamu menutupi mezbah Tuhan dengan air mata, dengan tangisan dan rintihan”. Artinya adalah sekalipun mereka menangis, merintih dalam doa saat mempersembahkan korban di Mezbah, Tuhan tidak akan mendengarkan mereka. Mengapa? ayat 14 memberi penjelasan, karena mereka “tidak setia pada isteri masa muda”. Isteri masa muda menunjuk kepada isteri pertama yang ditetapkan Allah menjadi teman sekutu dan seperjanjian. Artinya ketika seseorang menikah ia berjanji untuk setia sehidup semati. Perjanjian itu tidak hanya menyangkut manusia kepada manusia, tetapi lebih jauh lagi, yaitu kepada Tuhan. Karena Dia adalah Allah yang tidak ada duanya, yang menciptakan dan menjadikan mereka satu. Dengan kata lain perjanjian pernikahan itu didasarkan pada perjanjian Tuhan kepada umat-Nya (ayat 15). Oleh sebab itu perceraian dilarang oleh nabi Maleaki. Ayat 16 menutupnya dengan frasa “Sebab Aku membenci perceraian” dalam bahasa Ibraninya “Dia membenci”. Namun kebanyakan ahli tafsir seperti terjemahan LAI, mungkin supaya lebih tajam karena diungkapkan oleh Allah sendiri. Jadi perikop ini memberi informasi bahwa perceraian adalah salah satu bukti pemberontakan atau ketidak setiaan kepada perjanjian Allah.

Kesimpulan Teologis dan Relevansinya Bagi Orang Percaya
Dari pembahasan di atas memperlihatkan bahwa Perjanjian Lama hampir tidak menyinggung masalah perceraian. Namun tidak berarti itu diabaikan, melainkan mungkin karena perceraian bukanlah masalah pokok saat itu. Dengan demikian, kemungkinan juga hukum-hukum yang melarang perceraian itu belum ada saat itu. Karena jika kita bertolak dari Ul. 24:1-4 maka perlindungan terhadap perempuanlah yang menjadi pokok utama dari hukum tersebut (lht. G. von Rad, 1956: 22; Raymond Borwn, 1993: 227-229; P.C. Craigie, 1976: 304-305; Wright, 2000 : 182). Sedangkan dalam kitab Yesaya 50:1 dan Yeremia 3:8 menunjuk pada masalah pembuangan, yaitu Israel dibuang ke Babel berarti diceraikan oleh Allah.

Maka saya menyimpulkan bahwa Perjanjian Lama satu suara mengatakan (sepakat) tidak mengijinkan perceraian. Artinya mutlak bahwa Allah tidak mengijinkan perceraian. Namun perlu diketahui bahwa perceraian merupakan fakta yang tidak dapat disangkal. Memang ada beberapa ahli yang mengijinkan tapi “kekecualian”. Karl Barth menyebutnya dengan istilah "possible impossibility", yaitu sesuatu yang pada hakikatnya tidak mungkin, tetapi dalam kenyataannya menjadi mungkin, bahkan banyak terjadi. Eka Darmaputera mengatakan adalah kesalahan jika “kekecualian” dianggap sebagai “aturan umum”. Namun saya tetap mengatakan bahwa “perceraian” adalah perkawinan yang gagal serta tragedi yang tidak dikehendaki oleh Allah dan penyimpangan dari maksud ideal Allah dan pembrontakan terhadap janji ilahi yang mulia. Maka ada beberapa alasan mengapa percerain itu dilarang :

Perceraian adalah tidak terdaftar dalam rencana Allah,
Pelanggaran terhadap perjainjian suci Allah atas pernikahan,
Penyimbangan dari maksud ideal ilahi atau tujuan Allah,
Tindakan penghianatan dan pemberontakan terhadap janji-Nya (bnd. Mal. 2:16);
Ketidak setiaan pada perintah Allah (Ezra 10:10).
Serta merendahkan harkat dan martabat atau nilai dan hak sesama ciptaan-Nya.

Catatan:
[1] Kata keritut memberi penegasan bahwa perceraian biasa dilakukan ketika seorang laki-laki / suami mendapati istrinya melakukan tindakan yang tidak senonoh (tak terpuji), tapi harus ada bukti-bukti yang kuat dan mendukung supaya tidak berat sebelah. (lht. The Interpreter’s Dictionary Of The Bible – An Illustrated Encyclopedia A-D / Vol. 1, (New York: Abingdon Press 1962), 859.
[2] Theological Wordbook Of The Old Testament-Vol. 1-R. Laird Harris, Editor, Gleason L. Acher, Jr., Associate Editor and Bruc K. Waltke, Associate Editor (UAS: Moody Press-Chicago, 1984), 456-457.
[3] Dalam terjemahan LXX kata “keritut” lebih diperluas lagi, yaitu ditujukan kepada dua nelah pihat (laki-laki dan perempuan). Perhatikan kata apostasion dalam bentuk noun genitive neuter singular common from. Perubahan ini mungkin sekali karena pihak laki-laki juga pernah diceraikan oleh isterinya. Artinya kasus “perceraian” bisa dialami oleh pihak laki-laki dan pikah perempuan.
[4] Lht. Willeam A. VanGemeren (Editor umum), New International Dictionary Of Old Testament Theology & Exegeisi-Vol. 2, (Zondervan, Grand Rafids, Michigan 1997), 718, yang dikutip dari Driver, 269; Robinson, (1907: 177); Smith, (1918: 276); Von Rad, 150; Thompson, 243-244; Maryes, 322 dan Craigie, 304.
[5] Pernikahan kontrak biasanya terjadi dalam situasi peperangan. Roland de Vaux, Ancient Israel-It Life and Institutions (Darton, Longman & TODD London), 1968: 35 mengatakan “the husband made out a declaration contradicting that which had sealed that marriage contract”.
[6] Henk ten Napel, Jalan Yang Lebih Utama Lagi (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1990), 46.
[7] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari, Surat 1 Dan 2 Timotius, Titus, Filemon (Jakarta: BPK Gunung Mulia 2001), 106.
[8] The Jewish Encyclopedia 12 (New York, tanpa tahun), 557.
[9] Baca Daniel Rops, Daily Life In Palestina At The Time Of Christ (London, 1962), 128.
[10] Untuk lebih jelas lht. Raymond Borwn, The Message Of Deuteronomy-The Bible Speaks Today, Leicester, England Downers Grove, Illionis, (USA: Inter-Varsity Press 1993) 227-229; bnd. Ian Cairns, International Theological Commentary-Deuteronomy-Word And Pressence, (Wm. B. Eermans Publishing Company 1992) 210, yang mengatakan: “The ancient Near Estern codes attest that divorce normally involved a monetary settlement; this presumably was also the case in Israel, though it is nowhere ststed”.
[11] The Interpreter’s Bible-Vol. 2 (New York: Abingdon-Cokesbury Press 1953) 473-474.
[12] Setiap laki-laki yang diikutsertakan untuk berperang terutama bagi yang sudah memiliki isteri, maka ia harus mengaku di depan umum bahwa ia sudah tidak lagi cinta dengan isterinya sehingga mereka melakukan kawin kontrak dengan para wanita tawanan. Roland de Voux (1968 : 35) mengatakan, setiap daerah memiliki pengakuannya sendiri-sendiri, misalnya jaman penjajahan Elephantine seorang suami mengatakan di depan para saksi: ‘I divorce my wife’, harafiahnya: ‘I hate my wife’. Di Assyria: ‘I reputiate her’ or ‘you are no more my wife’
[13] Lht.Wismoady Wahono, Di Sini Kutemukan, Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004, hal 68; J. Blommendaal, Pengantar Kepada Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996) 19-20; bnd.
[14] Georg Foher mengatakan dalam bukunya History Of Israelite Religion (Translated by David E. Green), 1981, hal 175, bahwa hukum dalam Ul 24:1-4 sifatnya komplit, yaitu praktik peribadatan kepada ilah-ilah asing (Asyur dll), yang dihubungkan dengan masalah seksual yang menyebabkan kemerosotan iman Israel kepada Allah.
[15] Lht. Gerhand von Rad, Studies In Deuteronomy-Studies In Bibical Theology No.9, (London: SCM Press LTD 1956) 22; bnd. Raymond Borwn, (1993: 227-229); P.C. Craigie, The International Commentary On The Old Testament-The Book Of Deuteronomy (USA: Wm.B Eerdmans, Publishing Company Grand Rapids, Mich 1976) 304-305; Christopher Wright, Hidup Sebagai Umat Allah-Etika Perjanjian Lama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000:182; Thompson, Deuteronomy An Introduction & Commentary (London: Inter-Versity Press, 1974), 243-245 ; J.W. Wenham, Our Lord’s View Of The Old Testament (London: The Tyndale Press, 1953), 30-31.
[16] Ensiklopedi Aklitab Masa Kini-jilid 2, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih/OMF) 2004, hal 157.
[17] Kata yang diterjemahkan dengan tidak senonoh adalah, : telanjang, pamer aurat (Ing.nakedness). Masalah ini juga yang diperdebatkan oleh Rabi Shammai dan Rabi Hillel, dan dikatakan bahwa kata semborono ini juga memiliki kaitan dengan perempuan yang “tidak disukai” oleh suaminya atau suaminya yang kedua tidak lagi cinta kepadanya. (lht. John Stott, Isu-isu Global (1994: 376-377); The Interpreter’s Bible-Vol. 2 (1953:473) ; The Interpreter’s Dictionary Of The Bible- A-D / Vol. 1 (1962: 859); New International Dictionary Of Old Testament Theology & Exegeisi-Vol. 2 (1997: 718).
[18] Paul R. House, Old Testement Theology (USA: InterVersity Press, 1998) 190-191.
[19] Mungkin inilah dasar dari pemikiran Manley yang mengatakan bahwa Ul. 24:1-4 adalah sebagai hukum-hukum “pemberontakan/ clemency” pada masa reformasi Yosia. Lht. Manley, The Book Of The Low- Studies In The Date Of Deuteronomy, (London: The Tyndale Press, 1957), 103, 181.
[20] Lht. Hans Walter Wolff, Anthropology Of The Old Testament-Second Printing (SCM Press Ltd, London & Forteress Press, Philadelphia, 1975) 173-176. Ia mengatakan bahwa di kalangan umat Israel “perceraian” erat kaitanya dengan Yahwe. Oleh sebab itu Ul. 22:28 melarang perceraian atau tidak mengizinkan perceraian (not allowed to divorce) karena itu menyangkut hidup yang panjang. Sedangkan dalam Ul. 24:1-4 merupakan aturan lebih lanjut yang menjadi persyaratan atau yang menjamin kondisi maupun keadaan umat Israel di tanah perjanjian-Nya.
[21] Darmawijaya Pr, Warta Nabi Masa Pembuangan Dan Sesudahnya (Yogyakarta: Kanisius Lembaga Biblika Indonesia 1990) 71.
[22] Untuk lebih jelas lagi lih. Otto Eissfeldt. The Old Testament An Introduction : The History of the Formation of the Old Testament. terj. Peter R. Ackroyd. (New York & Evanston : Harper and Row Publishers, 1965) 347.
[23] William L. Holladay. Jeremiah I : A Commentary on the Book of the Prophet Jeremiah Chapter 1-25. (Philadelphia : Fortress Press, 1986) 7.
[24] Elisamark, Teo-politik Yeremia dan Hananya-Studi Eksegese Yeremia 28:1-17 (Cipanas: 2008) 3.
[25] Zedekia adalah raja yang pro-Babel karena ia sendiri diangkat oleh Nebukadnezae, lht. Blommendaal, 1996 : 117-118; bnd. John Bright. A History of Israel. (London : SCM Press Ltd., 1962) 306-309. Lih. juga J. Blommendaal. Pengantar kepada Perjanjian Lama. (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2005) 118; Elisamak, (2008: 4); bnd. H. Cunliffe-Jones, The Book Of Jeremiah-Introduction And Commentary (London: SCM Press LTD, 1960) 60, mengatakan kejahatan itu memuncak karena Yehuda terus tidak mau bertobat.
[26] Liht. Walter Brueggemann, A Commentary On Jeremiah-Exile & Homecoming, (USA: Wm. B. Eerdmans Publishing Com. Grand Rapids, Michigan/ Cambridge, U.K., 1998) 45; bnd. James Muilenburg, The Terminology Of Adversity In Jeremiah, (Translating & Understanding The Old Testament), ed: Harry Thomas Fank and William L. Reed (Nashiville: Abingdon, 1970) 42-63; bnd. Robert. M. Paterson, Tafsiran Alkitab-Kitab Yeremia 1-24 (Jakarta: BPK Gunung Mulia 1983) 78
[27] Lht. J.A. Thompshon, The New International Commentary On The Old Testament-The Book Of Jeremiah, (USA: Wm. B. Eerdmans Publishing Com. Grand Rapids, Michigan), 1992, hal 195-196. Mengatakan bahwa ini terjadi ketika masa Samaria atau dibuang ke Asyur tahun 722/1 sM. (2 Raj. 17:1-18), yang dipimpin oleh raja Tiglath-Pileser III (745-726 sM).
[28] Untuk lebih jelas lht. Tremper Longman III, New International Biblical Commentary-Jeremiah, Lamentations, (USA: Hendrickson Biblical Commrntary), 2008, 41.